Marxisme dan Hijrah (Lanjutan)

 

*   *   *

Di sini juga saya mau menguraikan secara ringkas sikap dari seseorang G. Hal ini penting karena sikapnya terdapat sering sekali. Dia menyurat kepada saya:

 

“Salam alaikum, Alexander Gachikus!

Saya sudah membaca tulisan anda tentang definisi [pertegasan] dari pikiran dan pemikiran dari sudut ideologi Marxisme dan dari sudut ideologi Islam. Itu sangat menarik. Yang tidak jelas cuma, bagaimanakah anda menegaskan bahwa “sekutu kami ialah Islamisme”, kalau Islam mengakuilah [adanya] Tuhan, sedang anda tidak mengakuinya?”

 

Saya menjawab kepada dia:       

 

“Salam alaikum, G.!

Kalau saya mengarti anda benar, anda sudah membaca tinjauan saya [buku “Pemikiran” oleh Taqiuddin an Nabhani] yang ditulis lebih kurang sepuluh tahun lalu. Pandangan saya pada waktu itu ada agak “mentah”, agak “kasar”, menurut paham saya sekarang. Pada waktu itu saya mengenal Islam kurang sekali, mengenal hal ini secara tidak langsung cuma.

Adapun pertanyaan anda, pertama sekali, perlu dikemukakan bahwa kaum imperialis selalu selama 100 tahun lalu bermaksud untuk memisahkan Islam dari Marxisme-Leninisme untuk melemahkan kaum Muslim dalam perjuangannya melawan imperialisme dan untuk menjadikan Islam sebagai mistik seperti Hinduisme dan agama Nasrani. Lalu dalilnya yang utama justru ialah “Islam mengakuilah [adanya] Tuhan, sedang Marxisme-Leninisme tidak mengakuinya”. Lalu baik kebanyakan besar dari kaum “Marxis” (yang tidak memahami Marxisme, yang membengkokkannya [membalikkannya]) maupun banyak di antara kaum “Muslim” (tidak cuma kaum munafiq, bahkan banyak di antara kaum Muslim yang jujur pun tetapi naif [yang berpikiran terlalu bersahaja], yang mempercayai buta-butaan munafiq-munafiq itu) sependapat, sepakat dengan kaum imperialis dalam hal itu. Jadi, sebenarnya, mereka [yang sependapat dengan kaum imperialis itu] dimanfaatkan oleh kaum imperialis itu walaupun mereka sendiri tidak menyadari itu.

Tetapi sebenarnya, satu arti kata “Tuhan” yang adanya tidak diakui oleh Marx dan Lenin, dan satu arti kata “Tuhan” yang adanya diakui oleh Nabi Muhammad adalah dua barang yang berlainan benar. Yang pertama adalah “Tuhan” dalam arti kata yang umum di Eropa sekarang, yakni akal tertinggi yang tidak berbadan [yang tidak punya benda apapun dalam yang dikandungnya] yang bisa membuat sesuatu yang luar alamiah [supernatural – yang luar wajar dsb.], yang disifatkan oleh kaum kapitalis dengan kepentingan kelas diri sendiri; yakni “Tuhan” sebagai susunan ide-ide kelas kapitalis. Pahamnya inilah yang dikecam oleh Marx dan Lenin, dan kecaman itu ada benar.

Arti kata “Tuhan” yang kedua adalah “Tuhan” sebagai undang-undang alam umumnya dan undang-undang pertumbuhan sejarah masyarakat khususnya, undang-undang yang obyektif (yaitu yang tidak tergantung kepada kemauan manusia), undang-undang yang justru membentuk kemauan itu, undang-undang yang di dalamnya tiada apapun yang luar alamiah [supernatural – yang luar wajar dsb.]. Jadi, kalau kita memikirkan artian Qur’an secara mendalam, maka kita melihat bahwa Qur’an tidak bertentangan dengan Marxisme-Leninisme sekali-kali. Sebaliknya, boleh dikatakan bahwa Nabi Muhammad adalah seorang materialis historis dan dialektis sungguh yang pertama di sejarah manusia, jauh sebelum Marx (bahkan yang lebih mendalam di beberapa hal daripada Marx). Kecaman Marxis-Leninis tentang agama [agama dalam arti “idealisme”], idealisme sebagai filsafat yang menganggap kemauan sebagai asalnya materi (pada hakekatnya, justru kemauan manusialah, kemauan kelas kapitalis-lah) sesuai dengan kecaman tentang syirk dalam Qur’an. Memang, tidakkah “Tuhan” itu, yang kepercayaan padanya dikecam oleh Marx dan Lenin, adalah berhala kaum kapitalis (seakan-akan kuasaannya dikaruniakan kepada mereka oleh Tuhan selama-lamanya), berhala kaum berkuasa, berhala “Rusia Raya”, berhala “Bapak Raja” [Tsar] dsb.? Bukankah sama saja dikatakan dalam Qur’an berulang-ulang tentang Fir’aun, tentang raja-raja dan orang-orang kaya yang sombong, yang mengira bahwa  mereka adalah Tuhan-Tuhan, atau yang mempergantungi ilah-ilah mereka yang palsu (seakan-akan ilah-ilahnya menyelamatkan mereka dari balasan)?

Dan unsur-unsur kepercayaan pada mukjizat [keajaiban] yang terdapat dalam Qur’an (dalam kisah-kisahnya juga, misalnya, kisah tentang tongkat Nabi Musa, kisah tentang penghamilan Maryam dengan puteranya Nabi Isa tanpa campuran dengan seorang laki-laki pun dsb.) bukanlah yang terutama di dalamnya (walaupun kaum munafiq mementingkan justru unsur-unsurnya-lah). Unsur-unsur ini (tetapi bukan hakekat Qur’an, tentulah) harus dipandang sebagai ibarat, perumpamaan, dan harus dipahami bukan secara hurufiah, melainkan secara kiasan, serta hikmah yang penting harus diambil dari kisah-kisahnya. Adanya unsur-unsur ini disebabkan oleh tingkat pengetaguan manusia, yang pada waktu Nabi Muhammad ada lebih rendah dari yang sekarang, dan beliau tidaklah bertanggung jawab atas tingkat rendah itu yang ada pada waktu itu. Itu seperti halnya dengan Cernysyevsky (pemikir revolusioner Rusia pada abad ke-19), yakni, menurut kata Marx tentang dia, “herannya bukan adanya unsur-unsur kenaifan [paham yang terlalu bersahaja] dalam tulisannya, sebaliknya, herannya, bahwa unsur-unsurnya kenaifan ini begitu sedikit dengan mengingat tingkat Rusia yang mundur [pada waktu itu dibanding dengan Eropa Barat]”.

Pada lain pihak, Marx, Engels dan Lenin hampir tidak tahu apa-apa tentang Islam, karena itu mereka melakukan beberapa penyederhanaan dalam kecamannya agama. Tetapi, seperti dalam hal Nabi Muhammad, mereka tidaklah bertanggung jawab atas itu.

Saya sendiri mulai memahami ini secara memuaskan cuma lebih kurang lima tahun lalu saja, sewaktu saya membaca buku “Madilog” (“Materialisme, Dialektika, Logika”) yang ditulis oleh seorang Marxis Islamis Indonesia Tan Malaka. Dan saya telah memahami secara tegaslah hal ini lebih kurang 2-3 tahun lalu, sewaktu saya mulai membaca Al Qur’an. Maka, maafkanlah beberapa kesalahan yang ada dalam tulisan saya yang dulu.

Inilah kalau singkatnya. Untuk penjelasan dari pendapat saya yang lebih rinci, lihatlah tulisan saya yang terakhir, yakni “Pengetahuan Islam dan ilmu Eropa” (2018), “Tan Malaka tentang Islam” (2017), dan “Komunisme dalam Islam” (2016) juga”                            

  

G. menjawab atas itu:

 

“Tidak, Marx dan Engels mengatakan tentang ketidakadaan Tuhan sebagai Pencipta alam semesta, bukan? Teori evolusi?”

 

Saya memikirkan panjang, adakah gunanya kalau saya akan menjawab atas surat G. tadi, ataukah G. termasuk mereka yang mata dan telinga “ditutup oleh Allah”, kalau dikatakan dengan kata Qur’an. Kemudian saya memutuskan untuk menjawab secara terbuka, maka saya sedang melakukan itu.

Dalam Qur’an puluhan kali disebutkan, bahwa Nabi Muhammad adalah seorang sama dengan semua orang (yaitu, beliau tidak mempunyai kemampuan, daya-daya, sifat-sifat dsb. yang luar biasa manusia), beliau tidak bisa melihat yang ghaib, beliau cuma memberi peringatan kepada orang-orang yang fasik [yang busuk, yang buruk dsb.] (tentang balasan dosa-dosanya) dan menyampaikan berita yang menyenangkan hati kepada orang-orang yang saleh (tentang balasan amalannya). Inilah cuma beberapa kutipan saja di antaranya:                       

     

“Aku tiada mempunyai pengetahuan sedikitpun tentang al mala’ul a’la (malaikat) itu ketika mereka berbantah-bantahan” [Surah 38 (Shaad) ayat 69]

            “Tidak diwahyukan kepadaku, melainkan bahwa sesungguhnya aku hanyalah seorang pemberi peringatan yang nyata” [Surah 38 (Shaad) ayat 70]

 

            “Katakanlah: “Bahwasanya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku bahwasanya Tuhan kamu adalah Tuhan yang Maha Esa…” [Surah 41 (Fushshilat) ayat 6]

 

            Lenin pernah menulis bahwa bedanya antara seorang revolusioner proletar yang sungguh dan seorang oportunis [munafiq] adalah keyakinan teguh dari seorang revolusioner proletar yang sungguh ini pada keharusan krisis kapitalisme yang hebat [yaitu, keyakinannya bahwa krisis itu tidak bisa dihindarkan], ialah krisis yang mengakibatkan revolusi proletar. Lalu seorang revolusioner proletar yang sungguh ini mendasarkan segala kegiatannya justru atas keyakinannya bahwa krisis yang begitu akan terjadilah. Sedang seorang oportunis [munafiq] (walaupun dia bisa mengakui di bibir bahwa krisis itu tidak bisa dihindarkan, semisalnya seorang oportunis Perancis pada awal abad ke-20 Jean Jaures, tetapi dia tidak mengira saja berapa hebatlah bisa jadi krisis itu) tidak berharap krisis yang hebat begitu, sebaliknya, dia berharap kemantapan [stabilitas] yang cukupan, dan mendasarkan segala kegiatannya justru atas keyakinannya pada kemantapan itu.

            Tetapi tidakkah yang dikatakan oleh Lenin sama saja dengan yang dikatakan dalam Qur’an-lah? Bukankah Hari Qiamat (“yaum al-qiyamati”, “yaum akhiri”) adalah justru krisis yang begitu?

            Inilah sari Islam. Tetapi hal ini tidak diperhatikan sekali-kali oleh para “Muslim” dan para “Marxis” [yang munafiq].

            Adapun “Tuhan sebagai Pencipta alam semesta”. Bolehkah kita memahami kata-kata dari Qur’an yang dikatakan tentang hal ini secara hurufiah?

            Tidak sekali-kali! Kalau kita memahami kata-kata ini secara hurufiah, maka ini bertentangan dengan kata-kata dari Qur’an “dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati perubahan pada sunnah [tindakan] Allah”: 

           

            “Sebagai sunnah Allah yang berlaku atas orang-orang yang telah terdahulu sebelum (mu), dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati perubahan pada sunnah Allah” [Surah 33 (Al Ahzab) ayat 62]

 

            Jadi, kita sekali-kali tiada akan mendapati perubahan pada sunnah Allah, pada cara kelakuan Allah, pada undang-undang alam. Sedang kita tahu, bahwa benda [materi] tidak menimbul dari ketidakadaannya [kekosongan], dan energi juga tidak menimbul dari ketidakadaannya.

            Nabi Muhammad hidup jauh sebelum Undang Ketetapan Jumlah Energi [The Law of Conservation of Energy’] dan Undang Ketetapan Jumlahnya Benda [Law of Constant Composition] didapat. Undang-undang ini didapat baru pada abad-abad ke-18-19, ialah lebih dari seribu tahun kemudian. Maka salahlah memberhalakan Nabi Muhammad [menjadikan beliau sebagai “Tuhan”] (sebetulnya, “la ilaha illallah, Muhammad rasul Allah”, “tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah”, yaitu Rasul-lah, bukan Ilah!). Salahlah menggambarkan, bahwa Nabi Muhammad seakan-akan tahu segala-galanya yang didapat oleh ilmu bukti [sains] abad-abad sesudah beliau. Beliau bukan seorang ahli bintang [astronom], ahli fisika, ahli ilmu hayat [biologi] dsb., yang meneliti hal evolusi dan “penciptaan alam semesta”. Tidak, beliau adalah Nabi (justru Nabi-lah, bukan tukang tenung seperti berbagai orang-orang mistik, astrologis [lihat surah 52 Ath Thuur ayat 29]), yakni seorang yang memperhatikan bahwa masyarakat, sebagai alam umumnya, mempunyai undang-undang sendiri, daur-daur (circles) sendiri, yang tidak tergantung kepada kemauan manusia. Justru inilah beliau menyebutkan sebagai “Allah”, “sunnah Allah”. Karena itulah kami mengata, bahwa Nabi Muhammad adalah seorang materialis historis dan dialektis sungguh yang pertama di sejarah manusia.

            Ingatlah, sedikit lebih 100 tahun lalu di Jerman ada ahli ekonomi yang burjuis Schulze-Gaevernitz. Dia mengira bahwa dengan masuknya kapitalisme ke tingkat imperialisme kelas yang berkuasa menjadi mampu “menguasai” perlakuan undang-undang ekonomi yang obyektif, lalu sekarang krisis-krisis dsb. bisa dihindarkan. Sikap yang agak mirip dianut oleh seorang “Marxis” Kautsky juga, yang mengada-adakan teori “ultra-imperialisme”: menurutnya, pertentangan yang persaingan pada zaman imperialisme seakan-akan “dikuasai” oleh kelas yang berkuasa. Lenin mengecam (dan kecaman itu ada benar) tuan-tuan itu dengan membuktikan bahwa masuknya kapitalisme ke tingkat imperialisme bukan menghapuskan pertentangan yang persaingan dan keharusan krisis, melainkan cuma mengangkat pertentangan ini ke tingkat yang sifat baru, yang sedunia [global].

            Sebetulnya, beberapa tahun kemudian sesudah Schulze-Gaevernitz dan Kautsky mengemukakan perkiraan ini (yang tidak berbeda sekali dari sikap Firaun Mesir dan lain penguasa yang sombong (“Kami adalah Maha Kuasa”, “Kami adalah para Tuhan”, “Kami adalah kesayangan Tuhan”) – sikapnya yang dikecam dalam Qur’an), Perang Dunia pertama timbullah, lalu  Revolusi di Rusia timbullah. Dengan kata Qur’an, Allah “menertawakan” mereka yang sombong itu.

            Tetapi mereka yang melalaikan sejarah terdapatlah berulang-ulang. “Mudah-mudahan krisis seperti yang ada pada tahun 1990-an tidak berulang lagi” - Putin [presiden Rusia sekarang] kata. Tentulah, kalau dia suka berharap bahwa krisis tidak berulang lagi, maka hal itu adalah hak pribadinya. Tetapi kita belum pernah “mendapati perubahan pada sunnah Allah” – baik terhadap Undang Ketetapan Jumlah Energi dan Undang Ketetapan Jumlahnya Benda maupun terhadap undang-undang ekonomi dan keharusan krisis ekonomi.

            Adapun unsur-unsur kepercayaan pada mukjizat [keajaiban] yang terdapat dalam Qur’an yang [unsur-unsur ini] bertentangan dengan bukti-bukti yang didapat oleh ilmu bukti Eropa sekarang (misalnya, kisahnya tentang penciptaan alam semesta dari ketidakadaannya [kekosongan]), dalam Qur’an sendiri juga dikatakan bahwa tidak ada seorang nabi pun yang perbuatannya tidak dimasuki oleh syaitan: 

           

            “Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasulpun dan tidak (pula) seorang nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, syaitanpun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu, Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana,” [Surah 22 (Al Hajj) ayat 52]

            “agar Dia menjadikan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, sebagai cobaan bagi orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan yang kasar hatinya. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu, benar-benar dalam permusuhan yang sangat,” [Surah 22 (Al Hajj) ayat 53]

 

            Jadi, sebelum Nabi Muhammad tidak ada seorang nabi pun yang tidak pernah membuat kekeliruan. Tetapi adakah hal ini berlaku cuma terhadap para nabi yang ada sebelum Nabi Muhammad? Tidakkah hal ini berlaku terhadap Nabi Muhammad sendiri juga? Berpendapat bahwa hal ini tidak berlaku terhadap Nabi Muhammad sendiri berarti menjadikan Nabi Muhammad sebagai “Tuhan”. “La ilaha illallah, Muhammad rasul Allah” [“tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah”]. Selain itu, berpendapat bahwa hal ini tidak berlaku terhadap Nabi Muhammad sendiri berarti melalaikan kata-kata dari Qur’an: “dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati perubahan pada sunnah Allah”. Memangnya, bahwa Nabi Muhammad adalah nabi yang terakhir tidak berarti bahwa beliau tidak pernah membuat kekeliruan. Bahwa Nabi Muhammad adalah nabi yang terakhir cuma berarti saja bahwa beliau sudah mengakhiri tahap yang nabawi [yakni tahap para nabi] di sejarah manusia dan sudah memulai tahap yang ilmiah [scientific]. Bahkan pada tahap ilmiah ini ada kalanya pemimpin-pemimpin revolusioner (Marx, Engels, Lenin dan lain-lain) membuat kekeliruan juga.

“Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat-Nya” – apakah berarti ini? Ini berarti bahwa pertumbuhan pengetahuan manusia yang kemudian memperluruskan [membetulkan] kekeliruan-kekeliruan yang dibuat oleh para ilmuwan, para nabi, para revolusioner yang dulu. Tidakkah Allah “menguatkan ayat-ayat-Nya” melalui-lah pendapatan Undang Ketetapan Jumlah Energi, Undang Ketetapan Jumlahnya Benda dll. oleh manusia?

Maka sudah tentu hal ini menjadi “cobaan bagi orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan yang kasar hatinya”. Orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit (yaitu yang ragu-ragu tentang Islam) mulai meneriak-neriakkan: “Islam tiadalah kebenaran lagi! Lihatlah, bukti-bukti yang didapat oleh ilmu membatalkan bahwa alam semesta diciptakan oleh Tuhan dari ketidakadaannya [kekosongan]!”. Orang-orang yang kasar hatinya, sebaliknya, melalaikan pendapatan Undang-Undang baru ini dan tetap mengulangi kata buta-butaan sebagai mantera: “Tuhan menciptakan alam semesta dari ketidakadaannya [kekosongan]”. Kedua pihak ini tidak melihat, tidak memperhatikan bahwa inti sari Islam bukanlah hal ini! Inti sari Islam ialah  bahwa Hari Qiamat (yakni krisis yang hebat, yang mengakibatkan revolusi) tidak bisa dihindarkan, dan hal ini justru dibuktikanlah (tidak dibatalkan!) oleh ilmu sekarang, yakni Marxisme-Leninisme! Kedua pihak ini (baik para Marxis palsu yang memandang hina Islam, maupun para Muslim palsu yang memandang hina Marxisme) adalah dua sisi dari satu “uang logam” yang burjuis. Mereka adalah seperti dua golongan ahli fisika tentang yang Lenin menulis dalam tulisannya “Materialisme dan empiriokritisisme”. Ketika pada awal abad ke-20 pendapatan baru di bidang ilmu fisika kwantum menimbul, satu bagian dari para ilmuwan mulai membuang materialisme (menurutnya, “benda [materi] hilang!”), lain bagian tetap mengikut pemahaman benda [materi] yang sudah lapuk [kolot] buta-butaan dengan melalaikan pendapatan baru itu. Sedang Lenin memisahkan diri baik dari golongan pertama, maupun dari golongan kedua. Dalam tulisannya ini juga Lenin mengutip Engels, bahwa dengan setiap pendapatan ilmiah yang baru materialisme diperbarui, “lahir sekali lagi” [“bangkit kembali”]. Tetapi sama saja yang ditulis oleh Sayyid Ahmad Khan juga tentang Islam-lah: bahwa pada setiap zaman yang baru penafsiran yang baru dari Qur’an juga dibutuhkan-lah, dan cara pemaparan dalam Qur’an (yaitu berupa kisah) memungkinkan penafsiran yang begitu:

 

“Dia [Sayyid Ahmad Khan] menganggap bahwa cara kiasan [ditekankan oleh saya – A. G.] yang gemilang dari Qur’an menyatakan bahwa pada setiap zaman Kitab ini harus dipahami sesuai dengan syarat-syaratnya [dari zaman itu] sendiri” [http://www.muslimphilosophy.com/hmp/LXXX-Eighty.pdf]

 

Jadi, sari Islam ialah justru pengakuan terhadap keharusan krisis (“Hari Qiamat”) masyarakat yang aniaya, yang penindas, serta penuntutan mendasarkan segala kegiatan justru atas keyakinan bahwa krisis yang begitu akan terjadilah. Dan apa-apa dalam Qur’an yang bertentangan bukti-bukti didapat oleh ilmu sekarang [sains] (misalnya, kisah tentang penciptaan alam semesta, penggambaran keadaan jiwa sesudah kematian dsb.) sudah tentu kita tidak boleh sekali-kali membuang saja; kita harus memahami itu bukan secara hurufiah, melainkan secara kiasan, serta hikmah yang penting harus diambil dari kisah-kisahnya, seperti saya sudah menulis di atas. Tentang hal ini pemikir Islami Ibnu Rusyd pada abad ke-12 M lagi mengata benar seperti saya sudah menulis dalam tulisan “Tentang materialisme dalam Islam” (2014), dan di sini [dalam hal ini] kami setuju sekali dengan dia.

Lalu dalam Qur’an sendiri pun kita melihat pembuktian hal ini:

 

            “Berkatalah orang-orang yang kafir: “Apakah setelah kita menjadi tanah dan (begitu pula) bapak-bapak kita; apakah sesungguhnya kita akan dikeluarkan (dari kubur)?” [Surah 27 (An Naml) ayat 67]

            “Sesungguhnya kami telah diberi ancaman dengan ini dan (juga) bapak-bapak kami dahulu; ini tidak lain hanyalah dongengan-dongengan orang dahulu kala” [Surah 27 (An Naml) ayat 68]

            “Katakanlah: “Berjalanlah kamu (di muka) bumi, lalu perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang berdosa [Surah 27 (An Naml) ayat 69]

 

Jadi, apakah kita melihat? Adakah sedikitpun mistik, kepercayaan pada mukjizat [keajaiban], pada  yang luar alamiah [supernatural – yang luar wajar] dalam jawab Nabi Muhammad itu (seperti yang dikandung dalam jawab-jawab para “Muslim” mistikus di jaringan social [Facebook dll.], semisal “Seandainya tiada Allah, maka piring-piring di atas meja tidaklah akan putar balik dengan sendirinya”, tetapi, setahu kita, piring-piring di atas meja justru tidaklah putar balik dengan sendirinya)? Tidak, jawabnya didasarkan cuma atas bukti-bukti [fakta-fakta] saja, yang bisa diuji oleh siapapun: kota-kota (negara-negara) tetangganya yang tenggelam dalam kemewahan, keangkuhan, kesombongan, maksiat dsb. tidak lama kemudian menjadi rusak binasa, dan yang tersisa dari itu adalah cuma peninggalan bangun-bangunannya pernah mulia serta riwayat-riwayat tentang kemuliaannya yang telah lampau. Jadi, kemuliaannya itu adalah tahap yang terakhir dari kehidupannya sebelum kebinasaannya.

Adakah simpulan dari jawabnya bisa dijadikan bahwa “setelah kita menjadi tanah kita akan dikeluarkan dari kubur” secara hurufiah? Tidak, jawabnya tidak mengandung sepatah kata pun tentang hal itu. Bukankah simpulan dari jawabnya bahwa kebangkitan sesudah kematian harus dipahami tidaklah secara hurufiah?!

Adakah para kafir yang mengingkari Qur’an itu sama saja dengan Tan Malaka, misalnya, karena dia dalam bukunya “Madilog” membuktikan dengan didasarkan atas ilmu sekarang (sains) bahwa setelah kita menjadi tanah kita tidaklah bangkit lagi, yakni secara hurufiah? Tidak sekali-kali, karena dia menunjukkan bagaimana harus ditafsirkan kata-kata Qur’an tentang sorga dan neraka itu sesuai dengan pengetahuan ilmiah sekarang (walaupun penafsirannya sendiri mengandung sebagian sedikit penyembahan berhala [patung-patung dsb.], ke-burjuis-an (lihat mukadimah saya kepada “Madilog”), tetapi di sini bukan tempat untuk membahas hal itu)!

Kembalilah ke soal tentang “Tuhan sebagai Pencipta alam semesta”. Mengapa pula soal itu begitu penting buat kami? Bukankah Lenin menulis bahwa soal tentang perjuangan melawan kaum kapitalis di muka bumi lebih penting buat kami (buat kaum proletar) daripada soal tentang adanya Tuhan di langit. Memang, perlulah kesatuan aksi antara kaum proletar yang masih percaya bahwa “Tuhan menciptakan alam semesta dari ketidakadaannya [kekosongan]” secara hurufiah dan kaum proletar yang tidak percaya lagi pada itu. Tetapi pada lain pihak, kita tahu, bahwa kekeliruan kecil pun dalam teori bisa mengakibatkan kesesatan besar dalam praktek, seperti sudah terjadi puluhan kali dalam sejarah gerakan revolusioner yang dahulu.   

Tan Malaka dalam bukunya “Madilog” menulis benar bahwa ada dua aliran filsafat yang pokok, yakni idealisme dan materialisme. Yang pertama adalah filsafat dari kelas penindas (burjuasi) dan yang kedua adalah filsafat dari kelas tertindas (proletariat). Baik yang pertama maupun yang kedua timbul berupa “bersih”, yang sekarang, “sempurna” dalam pikiran Eropa pada abad ke-18-19, bahkan timbulnya pikiran itu terjadi dengan adanya pengaruh besar dari Islam atas Eropa pada abad pertengahan. Dalam tulisan saya “Pengetahuan Islam dan ilmu Eropa” (2018) saya sudah mengutip satu cuplikan dari buku “Sejarah filsafat Muslim” tentang dua pengartian [konsepsi] tentang Tuhan, ialah yang teologis (bacalah: “Kristen”) yakni “Tuhan adalah sesuatu yang mandiri berakal [“efficient autonom”]” dan pengartian pemikir Islami al Farabi yang menganggap bahwa “Tuhan adalah adanya yang semesta alam dan bersifat keharusan” [“Universal and Necessary Being”]. Lalu pengartian yang kedua ini menjadi “dasar yang teguh dan yang tidak bisa digoyang” untuk kemajuan ilmu fisika (dan ilmu pengetahuan umumnya) di Eropa pada waktu itu. Sudah tentu, sikap al Farabi tidak bisa dinamakan “materialisme bersih”, kalau saya tidak salah, dia “meninggalkan” ke Tuhan “dorongan yang asli”, yakni “kejadian penciptaan alam semesta”. Kalau saya tidak salah, dalam hal ini sikapnya al Farabi ada mirip dengan sikap Newton. Tetapi perlulah diperhatikan bahwa Al Farabi hidup jauh sebelum Newton, apalagi sebelum kita! Jadi, sikapnya itu perlu dijitukan secara sungguh (walaupun pada waktu itu sikapnya itu ada yang maju sekali).

Pada lain pihak, dari buku “Pemikiran” (1973) yang ditulis oleh pendiri “Hizb ut Tahrir” Taqiuddin an Nabhani kita melihat bahwa dia menganut pandangan yang mirip dengan pandangannya Newton. Tetapi adakah benar mempersamakan pandangannya dengan pandangan yang “Islami sejati”? Tidak, Taqiuddin an Nabhani adalah cuma salah satu pemikir Islami saja, dan ada kalanya dia membuat kekeliruan juga. Ada para pemikir Islami sekarang yang lain lagi, misalnya seorang Marxis Islami Tan Malaka juga (walaupun dalam banyak hal-hal an Nabhani ada benar, kadang-kadang malah dibanding dengan Tan Malaka pun, dan ini tidak boleh dilupakan pula). Memajukan dalil bahwa “orang-orang Eropa yang bukan Muslim Marx, Engels dan Lenin mengatakan tentang ketidakadaan Tuhan sebagai Pencipta alam semesta, sedangkan Islam mengatakan tentang penciptaan alam semesta oleh Tuhan, maka saya sebagai orang Muslim harus menolak Marxisme-Leninisme” berarti melalaikan bahwa para pendeta Kristen Eropa yang memusuhi Islam secara nyata (yang berhubungan dengan kaum kapitalis imperialis yang merampok dunia Muslim!) menolak Marxisme-Leninisme justru atas dasar samalah (“Marxisme-Leninisme mengatakan tentang ketidakadaan Tuhan sebagai Pencipta alam semesta, sedangkan agama Kristen mengatakan tentang penciptaan alam semesta oleh Tuhan”)! Jadi memajukan dalil begitu berarti menyetujui dengan idealisme ialah dengan ideology Eropa kafir burjuis. Memajukan dalil begitu berarti melalaikan bahwa Marxisme-Leninisme (dan ilmu pengetahuan sekarang umumnya) lahir dengan adanya pengaruh besar dari Islam atas Eropa pada abad pertengahan. Memangnya, Islam mengajarkan bukan menolak suatu sikap gesa-gesa, tanpa berpikir panjang, melainkan memikirkannya secara mendalam:                                  

 

            “yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal” [Surah 39 (Az Zumar) ayat 18]

 

            Dalam salah satu terjemahan Qur’an perkataan “mendengarkan perkataan” ditafsirkan sebagai “mendengarkan perkataan Qur’an”, tetapi tafsir begitu dibatalkan oleh kata-kata yang berikut: “lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya” (kalau tafsir itu benar, maka Qur’an mengandung kata-kata yang tidak paling baik juga, jadi, tafsir itu mustahillah). Dalam terjemahan yang lain tafsir benarlah menurut pendapat saya: “yang mendengarkan ajaran-ajaran Al Qur’an dan ajaran-ajaran yang lain, tetapi yang diikutnya ialah ajaran-ajaran Al Qur’an karena ia adalah yang paling baik”.

            Misal yang lain dari Qur’an ialah surah 38 (Shaad) ayat-ayat 21-24 tentang cobaan Nabi Daud oleh Allah. Allah mengirim ke Nabi Daud dua orang yang berperkara untuk dia beri keputusan antara mereka dengan adil; lalu Daud dengan bergesa-gesa beri keputusan sesudah mendengar cuma salah seorang (dan tidak mendengar yang kedua), karena dia menganggap bahwa kebenaran seorang yang pertama ini “nyatalah”. Dan kemudian Daud bertobat dari pada ini, ketika mengarti bahwa ini bisa jadi ujian dari Allah.

            Jadi, Qur’an mengajarkan menjadi “lapang dada” (dalam arti “pandai mendengarkan sikap yang bertentangan dengan yang kamu”), keluasan pandangan: “mendengarkanlah semua pendapat, tetapi mengikutlah yang paling baik”. Maka apakah bisa dikata tentang orang-orang “Muslim” begitu yang menolak Marxisme-Leninisme tanpa belajarnya apa pun, dengan berdasarkan cuma atas kata-kata (dari mulut-mulut para musuh Islam yang tertutup dan yang terbuka, yang memalingkan kaum Muslim dari belajarnya ini) bahwa “Marxisme-Leninisme ingkar Tuhan” saja? Pertama, orang-orang “Muslim” seperti itu tidaklah mendengarkan semua pendapat, kedua, mereka mengikut bukanlah pendapat yang paling baik, melainkan pendapat para pendeta Kristen Eropa. Mereka adalah seperti para kafir itu dari ayat-ayat tadi surah An-Naml yang berolok-olok Nabi Muhammad tanpa mendalami pendapatnya (pada lahirnya [secara formal] mereka benar, tetapi pada hakekatnya mereka salah). Pendapat seperti itu yang menolak Marxisme-Leninisme cuma karena alasan bahwa ajaran ini tidak sesuai dengan Islam pada lahirnya dan yang tidak mau meneliti hakekat [inti sari] persoalannya (menurutnya, “Marxisme adalah ajaran bukan yang kami melainkan yang Eropa”) adalah pendapat bukan yang Islam melainkan yang nasionalis, bukan Islamiyyah melainkan ‘ashobiyyah.

            Di sini saya mau mengemukakan kutipan dari tulisan “Perayaan 1 Mei (pemandangan atas rapat besar dari pada Indische Sociaal-Democratische Party di Betawi)” yang ditulis oleh Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo (yang menjadi pendiri Negara Islam Indonesia kemudian) dan yang dimuat di surat kabar “Fadjar Asia”, 6-7 Mei 1929 [http://alchaidar.blogspot.com/2008/09/perajaan-1-mei.html]:   

 

“Maka jawab kita atas segala seruan yang mulia itoe [dari kaum sosial-demokrat] tak lain melainkan, mudah-mudahan cita2 kaum sociaal-demokraat itu dapat diperbesar dan diwujudkan sebagaimana mestinya dan kemudian akan bermanfaat juga bagi bangsa, rakyat dan negeri tumpah darah kita Indonesia adanya.

Tiap2 pertolongan dan perbantuan dari pihak mana pun juga akan terima dengan senang hati, asal pertolongan dan perbantuan itu dapat menambah kekuatan kita dalam perlombaan menuntut hak2 si lemah dan dapat mencepatkan perjalanan kita menuju ke arah kemerdekaan kebangsaan Indonesia

 

Sudah tentu, di sini harus dijitukan bahwa kaum sosial-demokrat (seperti kaum komunis kemudian) mengkhianati ajaran Marx. Selain itu, Kartosuwiryo di sini cenderung sedikit kepada nasionalisme (“kemerdekaan kebangsaan Indonesia”, sedangkan yang perlu diserukan ialah kebangkitan Khilafah Islami yang kesatuan). Tetapi hal ini bukan yang terutama di sini. Yang terutama di sini ialah bahwa kalau ajaran Marx dan Lenin (walaupun ajarannya bukan Islami pada lahirnya) menambah kekuatan kaum Muslim dalam perlombaan menuntut hak2 si lemah dan dalam perjuangan untuk kebangkitan Khilafah (bahkan, pengetahuan ilmiah yang didasarkan pada bukti-bukti itu tidaklah bisa lain kecuali menambah kekuatan itu!), maka ajaran itu harus digunakan semestinya. Dan siapapun yang melawan penggunaan itu adalah perintang [pengalang] kebangkitan Khilafah, sengaja atau tidak. 

7 tahun kemudian Kartosuwiryo menulis dalam tulisannya ”Sikap Hijrah PSII” (Partai Sarekat Islam Indonesia) (http://alchaidar.blogspot.com/2008/09/sikap-hidjrah-psii-i.html):

 

“Fasal 6: Pendirian ‘Amal

(c) Istitha’ah

Pendirian yang ketiga ini mengandung ajaran, supaya tiap-tiap manusia yang hendak mencapai ‘amal kesempurnaan, hendaklah suka membanyak-banyakkan, memperluas-luas dan memperdalam sekalian perbuatan dan usahanya. Sebanyak tenaga yang ada pada kita, sebanyak itu pula hendaknya digunakan untuk keperluan membela Agama Allah! Sebanyak2 pengetahuan, harta, pengertian dan lain-lain yang dikaruniakan Allah kepada kita itu, sebanyak itu pula hendaknya kita ber’amal!...

Demikianlah erti Istitha’ah itoe dengan amat ringkas. Lebih jauh, hendaklah dibandingkan dengan ajaran2 dalam Al-Qur'an, Surah Al-Anfal (8) ayat 60 dan Surah At-Taghabun (64) ayat 16!”

 

            Memangnya, kalau Allah sudah mengaruniakan kepada kami pengetahuan Marxisme-Leninisme, maka guna kepentingan siapakah untuk kami menolak penggunaan pengetahuan ini untuk keperluan membela Agama Allah (“Agama” bukan dalam arti “mistik” melainkan dalam arti “ajaran”)? Jawabnya sudah nyata: syaitan dan para pengikutnya yang selalu mengupayakan untuk meyakinkan kita bahwa “Marxisme-Leninisme bertentangan dengan Islam”, dan yang akan gagal sebagai keharusan, cepat atau lambat, seperti sudah gagal puluhan kali dalam sejarah.

Ayat-ayat yang dikemukakan oleh Kartosuwiryo membenarkan juga pikiran kami ini. Memangnya, dalam Surah Al-Anfal (8) ayat 60 tadi kita membaca:

 

“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu…”

 

            Dalam catatan kaki dari salah satu terjemahan Quran dikatakan bahwa sekarang kuda-kudaitu harus diartikan sebagaitank, pesawat terbang, peluru [roket] dan meriam”. Memangnya, kuda-kuda tidak menggentarkan siapa pun juga sekarang, malahan melucu saja. Tetapi “tank, pesawat terbang, peluru dan meriam” ini adalah pendapatan bukan kaum Muslim melainkan orang-orang Eropa! Walaupun begitu, kita melihat, bahwa barang ini boleh (dan harus) digunakan. Tetapi bukankah hal ini sama dengan Marxisme-Leninisme?! Bukankah Marxisme-Leninisme sebagai “meriam” yang begitu sekarang?! Bukankah mereka yang mengajak kaum Muslim menolak Marxisme-Leninisme sama dengan mereka yang dengan menafsirkan Qur’an secara terlalu hurufiah (di mana tafsir begitu tidak sesuai nyata-nyata dengan keadaan), dengan melalaikan keadaan yang sekarang mengajak kaum Muslim menolak senjata yang sekarang dan berperang dengan kuda-kuda, secara kolot?! Bukankah para “Muslim” palsu yang begitu sama dengan para propagandis imperialis anti-Islam yang meneriak-neriakkan tentang kaum Muslim: “Bagaimanakah para teroris ini boleh menggunakan pesawat modern [teknik, mesin] melawan kami?! Ini adalah pendapatan bukan mereka, melainkan kami, orang-orang Eropa! [seolah-olah para propagandis ini sendiri mendapatkan pesawat ini!].

            Kembalilah ke soal tentang materialisme dan idealisme.

            Jadi, mengapa Islam kalau dipergunakannya dalam keadaan yang sekarang berarti justru materialisme? Mengapa dari dua ideology Eropa ini (materialisme dan idealisme) Islam harus menolak justru idealisme?

            Karena idealisme adalah syirik pada hakekatnya. Idealisme berhubunganlah dengan syirik. Dalam kenyataan yang sebenarnya pikiran selalu terkandung dalam suatu benda, lalu para idealis walaupun tidak mengakui hal ini secara terbuka (begitulah sifatnya ketidaksesuaian dari kaum penindas!), tetapi secara diam-diam selalu memaksudkan ini (benda yand dimaksudkannya adalah kelas kapitalis, karena justru dengan kemauannya para idealis mengganti undang-undang alam, “kemauan Allah”). Jadi, pada hakekatnya idealisme berarti sembahan [pujaan] berhala kelas kapitalis, kaum berkuasa.

            Lalu kita melihat bahwa pendapat an-Nabhani, misalnya, membiarkan “kesempatan” itu buat ke-burjuis-an. Memangnya, kalau yang pertama adalah pikiran, bukan undang-undang alam, maka kepentinganlah kaum kapitalis dari bangsa-bangsa Muslim (yang menindas kaum Muslim ini dan sering menjadi antek-antek kaum imperialis kafir yang asing) boleh dikemukakan sebagai pikiran ini, seolah-olah pikiran ini adalah “kemauan Allah” (walaupun kebajikan yang diniatkan oleh an-Nabhani itu). Kita melihat pembuktian hal ini dalam Indonesia, misalnya, yang menjadi sekarang jajahan imperialisme Cina pada hakekatnya (yang ditunjukkan oleh statistik investasi [tanaman modal] asing). Lalu para ulama “Islam” (Islam palsu) resmi “Nahdlatul Ulama” (NU) pada satu pihak mencela Marxisme-Leninisme, dan pada lain pihak mendukung pemerintah yang pro-Cina, menyangkal (guna kepentingan Cina) diskriminasi kaum Muslim di Xinjiang, walaupun pemerintahan Cina itu adalah yang “komunis” pada lahirnya [secara resmi]! Jadi, menurut pendapatnya para “Muslim” itu, imperialisme, kapitalisme yang riba [usury, bunga modal, “lintah darat” ialah perkara yang dilarang dalam Islam] yang berkedok sebagai “komunis” boleh didukung, sedangkan ajaran Marxis-Leninis yang revolusioner tidak boleh didukung sekali-kali (“Ajaran itu menolak Tuhan!”).

            Jangankan “Nahdlatul Ulama” (terhadap mereka teranglah sekali [bahwa mereka berhubungan dengan pemerintahan kapitalis pro-Cina]), akan tetapi Hizb ut Tahrir Indonesia (HTI) juga berpendapat yang tidak berbeda sekali dari itu! Ya, pemerintahan membubarkan mereka lebih kurang dua tahun lalu, tetapi para juru bicara HTI tetap menyebarkan gagasannya dengan bebas [dengan tidak dihalangi], mereka sering diundang ke TV. Salah satu penda’wah HTI yang terkenal adalah Felix Siauw yang asalnya Tionghoa, dari keluarga Kristen Katolik.

            Pada masa penjajahan Belanda, kemudian pada masa pendudukan Jepang ada para penda’wah “Muslim” dari bangsa itu masing-masing, yang membela kepentingan imperialisme sendiri masing-masing dalam da’wahnya “Islam” yang palsu. Tan Malaka menulis tentang hal itu [dalam bukunya “Dari penjara ke penjara”]. Sekarang juga ada para penda’wah dari bangsa Cina.

            Tentulah, ibu bapak tidaklah bisa dipilih. Kelahiran di keluarga Cina bukanlah salahnya Felix Siauw. Tetapi kalau seorang yang berasal dari bangsa yang merampas kaum Muslim adalah orang Muslim yang jujur, maka dia berwajiblah mencela bangsanya secara tegas dan sungguh untuk melenyapkan kecurigaan akan kemunafiqannya yang beralasan itu terhadap dia. Tetapi apakah kita melihat? Dalam da’wahnya Felix Siauw sering mencela imperialisme Amerika (ialah saingan [rival, penyaing] Cina), tetapi tidaklah (atau hampir tidaklah) mencela imperialisme Cina. Kemasyhurannya yang luas menunjukkan adanya dukungan pendanaan [dari kalangan berduit] yang mungkin sekali. Dalam salah satu video di YouTube Felix Siauw dengan kawannya membahas Marxisme-Leninisme [https://www.youtube.com/watch?v=jKf9R_siPD0]. Lalu apakah kita melihat? Alasannya adalah sama saja lagi: “Marxisme-Leninisme menolak Tuhan”, serta “Marxisme-Leninisme ingin kekerasan”. Terhadap siapakah kekerasan itu, mereka tidak mengata. Jadi, mereka mengacaukan kekerasan dari pemerkosa (kaum kapitalis, imperialis, kafir), semisal kekerasan dari pro-Sovyet Partai Komunis Indonesia dipimpin oleh Manowar Musso, dengan kekerasan melawan pemerkosa, yang justru diinginkan oleh Marxisme-Leninisme yang sungguh, revolusioner. Tetapi Qur’an juga menentukan kepada kaum Muslim kekerasan terhadap kaum kafir secara tegas!

            Dalam pembahasan itu kesungguhan tidaklah ditampak – sebaliknya, yang ditampak adalah senyum-senyum yang sombong dan tawa kikik yang tidak malu saja. Apakah bedanya para “Muslim” itu dari kaum kafir yang mengejekkan Nabi Muhammad?!

        Misal yang lain lagi dari kecaman Marxisme dari pihak “Islam” (Islam palsu) adalah satu kecaman dari pihak “Nahdlatul Ulama” lagi di YouTube (kecaman ini menyinggung bukan perkara “adanya Tuhan” melainkan perkara lain) [Di sini saya keliru. Kecaman ini bukan dari pihak “Nahdlatul Ulama” melainkan dari pihak Front Pembela Islam (FPI). Namun, sikap FPI terhadap Marxisme tidak jauh berbeda dari sikap NU]. Kita melihat video [https://www.youtube.com/watch?v=zjxm4Z1U1mY] di mana satu ulama [Habib Rizieq] mengata yang berikutnya: ya, golongan Marxis adalah partai kaum buruh dan golongan ini berjuang melawan kaum kapitalis Eropa, tetapi golongan ini bukan partai kaum buruh saja, melainkan partai kaum buruh Eropa-lah yang penjajah sama saja dengan kaum kapitalis Eropa terhadap bangsa-bangsa Muslim. Mereka (kaum buruh Eropa dan golongan Marxis sebagai para wakil mereka), katanya, bermaksud untuk mengganti kekuasaan kaum kapitalis Eropa dengan kekuasaan kaum buruh Eropa, tetapi tidaklah bermaksud untuk mengganti apa pun dalam kebijaksanaan kolonial yang lama itu terhadap bangsa-bangsa tertindas di jajahan itu, terhadap bangsa-bangsa Muslim.

            Sudah tentu, sebagian besar kata-kata itu adalah kebenaran. Tetapi tuan ulama itu melupakan beberapa hal-ihwal. Memangnya, mengapa dia tidak mengata apa pun tentang perpisahan antara kaum internasionalis dan kaum sovinis dalam Internasional ke-2, tentang perdebatan antara Kautsky dan Lenin? Mengapa dia tidak menyebut Leninisme ketika mengata tentang Marxisme [komunisme]?

            Ya, kaum buruh Eropa (termasuk Rusia dan lain-lain bangsa imperialis) pada umumnya terbukti pengkhianat kepentingan kaum proletar [kaum buruh, miskin, tertindas] sedunia, seperti diperlihatkan oleh perjalanan perkembangan sejarah selama 100 tahun lalu. Tetapi bolehkah Marxisme ditolak dengan alasan itu, sedang Marxisme ini adalah ilmu yang didasarkan atas bukti-bukti? Apakah Nabi Muhammad menolak ajaran-ajaran Nabi Musa dan Nabi Isa dengan alasan bahwa para pengikutnya (kaum Yahudi dan kaum Kristen) terbukti orang-orang yang tidak adil? Tidaklah, karena beliau menyadari bahwa tidaklah benar mengacaukan yang pertama [Nabi Musa dan Nabi Isa] dengan yang kedua [para pengikutnya].

            Ulama tadi mengumpamakan Sukarno dan Agus Salim sebagai umpama [“positif”] yang bertentangan dengan [umpama “negatif”] orang “komunis” Manowar Muso (meski dia bukan orang komunis sebenarnya, melainkan antek imperialisme Rusia). Dengan umpama yang begitu ulama ini menelanjangi diri sendiri!

            Mengapa dia tidak mengata apa pun tentang orang komunis Tan Malaka yang menganjurkan persatuan [komunisme] dengan Islamisme dan yang tidak menodai diri dengan kerjasama dengan imperialisme Rusia berbeda dengan Manowar Muso?

            Mengapa dia tidak mengata apa pun bahwa Sukarno yang pada mula kegiatannya (pada tahun 1920-an) ada orang revolusioner yang jujur, murid dari pendiri Sarekat Islam H.O.S. Cokroaminoto dan yang menganjurkan penyatuan ide-ide nasionalisme, Islam dan komunisme, kemudian melakukan pengunduran [kompromi] yang terlalu besar terhadap imperialisme, mulanya imperialisme Belanda, kemudian imperialisme Jepang (tentang hal ini menulis Tan Malaka [dalam bukunya “Dari penjara ke penjara”] dan banyak penulis yang lain-lain), kemudian imperialisme Rusia, kemudian imperialisme Cina?

            Mengapa dia tidak mengata apa pun tentang perpecahan dalam Sarekat Islam pada tengah tahun 1930-an atas sayap “bolsyevik” [dalam arti “proletar” seumpama perpecahan dalam partai sosial-demokrat di Rusia pada tahun 1903] dan sayap “mensyevik” [burjuis] (saya sudah menulis tentang perpecahan ini dalam tulisan-tulisan yang lalu) dan tidak mengata apa pun bahwa justru Agus Salim yang menjadi pemimpin sayap “mensyevik” ini, yakni sayap yang tenggelam dalam pengunduran [kompromi] yang terlalu besar terhadap imperialisme Belanda?

            Mengapa dia tidak mengata apa pun tentang pemimpin sayap yang lain, “bolsyevik” dalam perpecahan ini, yaitu Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo yang menjadi pendiri Negara Islam Indonesia kemudian, yang pada usia muda membaca buku-buku komunis yang diberi kepadanya oleh pamannya orang komunis Marco Kartodikromo, dan buku-buku itu mempengaruhi sikap Kartosuwiryo secara nyata? Bukankah karena kaum kapitalis Indonesia yang melaksanakan kemauan tuan-tuannya yang asing (Rusia, Amerika, Cina) mencap Kartosuwiryo sebagai “orang teroris”?

            Jadi, kita melihat bahwa ulama ini mengungkap kepentingan kaum kapitalis Indonesia yang bertentangan dengan rakyat banyak jelata Muslim dan yang walaupun beberapa pertentangannya dengan tuan-tuannya yang asing selalu siap sedia mengkhianat kepentingan kaum Muslim untuk manfaat tuan-tuannya itu pada saat yang kritis [membahayakan, genting penting]. Bahkan, dia mengata ini dengan teriak, dengan begitu menimbulkan keharuan kaum Muslim untuk mendiamkan akal mereka (tidakkah Qur’an mencela sifat teriak?!).

            Yang menggembirakan [kami] adalah bahwa kaum Muslim proletar tidak lagi semuanya ditipu oleh tipu muslihat anti-komunis ulama-ulama “Muslim” yang palsu itu yang mempertahankan kepentingan kaum kapitalis bangsa sendiri dan tuan-tuannya asing imperialis. Di bawah video-video tersebut bisa dilihat tidak sedikit jumlahnya komentar [tanggapan] yang kurang senang pada itu.

            Lalu ulama-ulama begitu yang menimbulkan keharuan kaum Muslim melawan Marxisme-Leninisme, ulama-ulama itu menelanjangi diri sendiri dengan dukungannya yang tetap kepada ideologi negara resmi anti-Islam burjuis Panca Sila (yang pernah diada-adakan oleh Sukarno sebagai pengganti dasar-dasar Islam) untuk menentang kebangkitan Khilafah dan penerapan Syariat Islam. Buat ulama-ulama itu Islam dibatasi oleh ritual-ritual [upacara, sembahyang, sholat, doa dsb.], oleh bidang rohani dan terpisah dari kehidupan bermasyarakat secara burjuis sekuler saja.

[Di sini satu pernyataan harus dikemukakan. Pada tahun ini (2021) pemimpin FPI Habib Rizieq itu ada dipenjara oleh pemerintah Indonesia. Tetapi hal ini tidak berarti bahwa Habib Rizieq adalah seorang Muslim jujur dsb. Kita tahu bahwa Indonesia pada masa Orde Baru (“era Suharto”) ada jajahan imperialisme Amerika Serikat, sedangkan pada waktu terakhir ini Indonesia menjelma menjadi jajahan imperialisme Cina. Lalu FPI ada disusun oleh kaum kapitalis Indonesia pada tahun 1990-an (ketika Indonesia masih ada jajahan imperialisme Amerika Serikat sebagian besar) untuk menentangkan kaum Muslim dengan ide-ide Marxis, dengan gerakan buruh dan mahasiswa. Tetapi pada waktu terakhir ini Indonesia semakin menjadi jajahan imperialisme Cina yang berkedok sebagai “komunis”, maka kegiatannya FPI menjadi tidak pantas bagi kepentingan kaum kapitalis Indonesia, karena “anti-konunisme” para anggota FPI (di antara yang ada banyak orang Muslim jujur) pada hakekatnya berarti kemarahannya kepada imperialisme Cina dan kepada pemerintah Indonesia yang mengabdi imperialisme ini. Jadi, pertentangan antara pemerintah Indonesia dan Habib Rizieq adalah pertentangan antara dua pihak yang kafir sesama, yang burjuis sesama, pada hakekatnya adalah pertentangan antara imperialisme Amerika Serikat (dan Habib Rizieq sebagai anteknya) dan imperialisme Cina (dan pemerintah Indonesia sebagai anteknya).]                      

            Dan para juru bicara Hizb ut Tahrir Indonesia (HTI) tidak berani menentang Panca Sila secara lurus dan terbuka [terang-terangan]. Misalnya, salah satunya, Ismail Yusanto ketika ditanya oleh satu pengasuh TV dengan soal yang provokatif: “Apakah anda menganjurkan Khilafah ataukah Panca Sila?”, menghindarkan dari jawab yang lurus, dengan jawab yang menyimpang [,,kelangan enggok”, “main kongkalingkong”]: “Penerapan Khilafah adalah proses yang panjang sekali” dsb. Tentulah, seandainya dia menjawab secara lurus: “Saya menganjurkan Khilafah, bukan Panca Sila”, maka dia segera akan dipenjarakan, sebagaimana yang ditulis dalam salah satu komentar [tanggapan] di bawah video ini. Tetapi adakah hal ini bisa memaksa Muslim yang jujur, revolusioner yang jujur untuk menyimpang [menghindar] dari jawab yang lurus?! Ingatlah kejadian pada waktu Perang Dunia pertama dalam salah satu negeri Eropa yang digambarkan oleh Lenin: ketika para buruh [di rapat] bertanya kepada wakilnya sosialis mengapa dia memberikan suaranya di parlemen untuk ongkos militer, maka dia menjawab: “Tetapi seandainya saya tidak memberikan suaranya begitu, maka saya akan dipenjarakan!”, maka satu buruh bertanya: “Adakah ini buruk?!”. Memangnya, jiwa dan kebebasan [dari penjara] kaum proletar [kaum buruh, miskin, tertindas] dibahayakan  hampir tiap hari, maka bolehkah wakilnya tidak berani membahayakan diri dengan suatu hal, apalagi kalau hal ini bisa menguntungkan [yaitu keuntungan dari hal itu buat gerakan revolusioner bisa jadi lebih banyak dari pada kerugiannya]?! Bukankah kata berani yang begitu yang dikemukakan berhadapan penganiaya, apalagi yang dikemukakan oleh orang terkenal selalu berkumandang sekali dalam masyarakat umum!

Felix Siauw yang tersebut di atas berlaku secara sama [dengan Ismail Yusanto]. Dia menolak tuduhan bahwa “HTI menentang Panca Sila” dan membuktikan bahwa sebenarnya HTI tidak menentang Panca Sila dengan alasan bahwa beberapa kata manis dari Panca Sila yang berasal dari bahasa Arab, dari Qur’an bisa ditafsirkan dalam arti apa pun [baik dalam arti Islam maupun dalam arti kafir, karena artian Panca Sila ini adalah tidak jelas sekali]. Apakah “bukti” begitu kecuali oportunisme [kemunafiqan] yang paling buruk?!   

Pada lain pihak, banyak orang Muslim Indonesia sudah menyadari bahwa Panca Sila adalah warisan kolonial Eropa (satu seorang Muslim mengata secara tepat bahwa para pahlawan perjuangan kemerdekaan bangsa melawan Belanda pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 yang semuanya berjuang di bawah bendera Islam akan berbalik dalam kuburnyakalau mendengar bahwa Islam diganti dengan suatuPanca Sila”). Banyak orang Muslim Indonesia sudah menyadari bahwa Panca Sila sekarang menjadi bertentangan secara nyata dengan kepentingan rakyat banyak. 

 

Akan disambung

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Marxisme dan Hijrah