Marxisme dan Hijrah (Lanjutan)
*
* *
Di sini juga saya mau menguraikan
secara ringkas sikap dari seseorang G. Hal ini penting karena sikapnya terdapat
sering sekali. Dia menyurat kepada saya:
“Salam alaikum, Alexander Gachikus!
Saya sudah membaca tulisan anda
tentang definisi [pertegasan] dari pikiran dan pemikiran dari sudut ideologi
Marxisme dan dari sudut ideologi Islam. Itu sangat menarik. Yang tidak jelas
cuma, bagaimanakah anda menegaskan bahwa “sekutu kami ialah Islamisme”, kalau
Islam mengakuilah [adanya] Tuhan, sedang anda tidak mengakuinya?”
Saya menjawab kepada dia:
“Salam alaikum, G.!
Kalau saya mengarti anda benar, anda
sudah membaca tinjauan saya [buku “Pemikiran” oleh Taqiuddin an Nabhani] yang
ditulis lebih kurang sepuluh tahun lalu. Pandangan saya pada waktu itu ada agak
“mentah”, agak “kasar”, menurut paham saya sekarang. Pada waktu itu saya mengenal
Islam kurang sekali, mengenal hal ini secara tidak langsung cuma.
Adapun pertanyaan anda, pertama
sekali, perlu dikemukakan bahwa kaum imperialis selalu selama 100 tahun lalu
bermaksud untuk memisahkan Islam dari Marxisme-Leninisme untuk melemahkan kaum
Muslim dalam perjuangannya melawan imperialisme dan untuk menjadikan Islam
sebagai mistik seperti Hinduisme dan agama Nasrani. Lalu dalilnya yang utama justru
ialah “Islam mengakuilah [adanya] Tuhan, sedang Marxisme-Leninisme tidak
mengakuinya”. Lalu baik kebanyakan besar dari kaum “Marxis” (yang tidak memahami
Marxisme, yang membengkokkannya [membalikkannya]) maupun banyak di antara kaum
“Muslim” (tidak cuma kaum munafiq, bahkan banyak di antara kaum Muslim yang
jujur pun tetapi naif [yang berpikiran terlalu bersahaja], yang mempercayai
buta-butaan munafiq-munafiq itu) sependapat, sepakat dengan kaum imperialis dalam
hal itu. Jadi, sebenarnya, mereka [yang sependapat dengan kaum imperialis itu]
dimanfaatkan oleh kaum imperialis itu walaupun mereka sendiri tidak menyadari
itu.
Tetapi sebenarnya, satu arti kata
“Tuhan” yang adanya tidak diakui oleh Marx dan Lenin, dan satu arti kata
“Tuhan” yang adanya diakui oleh Nabi Muhammad adalah dua barang yang berlainan
benar. Yang pertama adalah “Tuhan” dalam arti kata yang umum di Eropa sekarang,
yakni akal tertinggi yang tidak berbadan [yang tidak punya benda apapun dalam
yang dikandungnya] yang bisa membuat sesuatu yang luar alamiah [supernatural –
yang luar wajar dsb.], yang disifatkan oleh kaum kapitalis dengan kepentingan
kelas diri sendiri; yakni “Tuhan” sebagai susunan ide-ide kelas kapitalis.
Pahamnya inilah yang dikecam oleh Marx dan Lenin, dan kecaman itu ada benar.
Arti kata “Tuhan” yang kedua adalah
“Tuhan” sebagai undang-undang alam umumnya dan undang-undang pertumbuhan
sejarah masyarakat khususnya, undang-undang yang obyektif (yaitu yang tidak
tergantung kepada kemauan manusia), undang-undang yang justru membentuk kemauan
itu, undang-undang yang di dalamnya tiada apapun yang luar alamiah
[supernatural – yang luar wajar dsb.]. Jadi, kalau kita memikirkan artian
Qur’an secara mendalam, maka kita melihat bahwa Qur’an tidak bertentangan
dengan Marxisme-Leninisme sekali-kali. Sebaliknya, boleh dikatakan bahwa Nabi
Muhammad adalah seorang materialis historis dan dialektis sungguh yang pertama
di sejarah manusia, jauh sebelum Marx (bahkan yang lebih mendalam di beberapa
hal daripada Marx). Kecaman Marxis-Leninis tentang agama [agama dalam arti
“idealisme”], idealisme sebagai filsafat yang menganggap kemauan sebagai
asalnya materi (pada hakekatnya, justru kemauan manusialah, kemauan kelas
kapitalis-lah) sesuai dengan kecaman tentang syirk dalam Qur’an. Memang, tidakkah
“Tuhan” itu, yang kepercayaan padanya dikecam oleh Marx dan Lenin, adalah
berhala kaum kapitalis (seakan-akan kuasaannya dikaruniakan kepada mereka oleh
Tuhan selama-lamanya), berhala kaum berkuasa, berhala “Rusia Raya”, berhala “Bapak
Raja” [Tsar] dsb.? Bukankah sama saja dikatakan dalam Qur’an berulang-ulang
tentang Fir’aun, tentang raja-raja dan orang-orang kaya yang sombong, yang
mengira bahwa mereka adalah Tuhan-Tuhan,
atau yang mempergantungi ilah-ilah mereka yang palsu (seakan-akan ilah-ilahnya
menyelamatkan mereka dari balasan)?
Dan unsur-unsur kepercayaan pada
mukjizat [keajaiban] yang terdapat dalam Qur’an (dalam kisah-kisahnya juga,
misalnya, kisah tentang tongkat Nabi Musa, kisah tentang penghamilan Maryam
dengan puteranya Nabi Isa tanpa campuran dengan seorang laki-laki pun dsb.)
bukanlah yang terutama di dalamnya (walaupun kaum munafiq mementingkan justru
unsur-unsurnya-lah). Unsur-unsur ini (tetapi bukan hakekat Qur’an, tentulah)
harus dipandang sebagai ibarat, perumpamaan, dan harus dipahami bukan secara hurufiah,
melainkan secara kiasan, serta hikmah yang penting harus diambil dari
kisah-kisahnya. Adanya unsur-unsur ini disebabkan oleh tingkat pengetaguan
manusia, yang pada waktu Nabi Muhammad ada lebih rendah dari yang sekarang, dan
beliau tidaklah bertanggung jawab atas tingkat rendah itu yang ada pada waktu
itu. Itu seperti halnya dengan Cernysyevsky (pemikir revolusioner Rusia pada
abad ke-19), yakni, menurut kata Marx tentang dia, “herannya bukan adanya unsur-unsur
kenaifan [paham yang terlalu bersahaja] dalam tulisannya, sebaliknya, herannya,
bahwa unsur-unsurnya kenaifan ini begitu sedikit dengan mengingat tingkat Rusia
yang mundur [pada waktu itu dibanding dengan Eropa Barat]”.
Pada lain pihak, Marx, Engels dan
Lenin hampir tidak tahu apa-apa tentang Islam, karena itu mereka melakukan beberapa
penyederhanaan dalam kecamannya agama. Tetapi, seperti dalam hal Nabi Muhammad,
mereka tidaklah bertanggung jawab atas itu.
Saya sendiri mulai memahami ini secara
memuaskan cuma lebih kurang
Inilah kalau singkatnya. Untuk
penjelasan dari pendapat saya yang lebih rinci, lihatlah tulisan saya yang
terakhir, yakni “Pengetahuan Islam dan ilmu Eropa” (2018), “Tan Malaka tentang
Islam” (2017), dan “Komunisme dalam Islam” (2016) juga”
G. menjawab atas itu:
“Tidak, Marx dan Engels mengatakan
tentang ketidakadaan Tuhan sebagai Pencipta alam semesta, bukan? Teori evolusi?”
Saya memikirkan panjang, adakah
gunanya kalau saya akan menjawab atas surat G. tadi, ataukah G. termasuk mereka
yang mata dan telinga “ditutup oleh Allah”, kalau dikatakan dengan kata Qur’an.
Kemudian saya memutuskan untuk menjawab secara terbuka, maka saya sedang
melakukan itu.
Dalam Qur’an puluhan kali disebutkan,
bahwa Nabi Muhammad adalah seorang sama dengan semua orang (yaitu, beliau tidak
mempunyai kemampuan, daya-daya, sifat-sifat dsb. yang luar biasa manusia),
beliau tidak bisa melihat yang ghaib, beliau cuma memberi peringatan kepada
orang-orang yang fasik [yang busuk, yang buruk dsb.] (tentang balasan
dosa-dosanya) dan menyampaikan berita yang menyenangkan hati kepada orang-orang
yang saleh (tentang balasan amalannya). Inilah cuma beberapa kutipan saja di
antaranya:
“Aku tiada mempunyai pengetahuan sedikitpun
tentang al mala’ul a’la (malaikat) itu ketika mereka berbantah-bantahan” [Surah
38 (Shaad) ayat 69]
“Tidak
diwahyukan kepadaku, melainkan bahwa sesungguhnya aku hanyalah seorang pemberi
peringatan yang nyata” [Surah 38 (Shaad) ayat 70]
“Katakanlah:
“Bahwasanya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku bahwasanya
Tuhan kamu adalah Tuhan yang Maha Esa…” [Surah 41 (Fushshilat) ayat 6]
Lenin
pernah menulis bahwa bedanya antara seorang revolusioner proletar yang sungguh
dan seorang oportunis [munafiq] adalah keyakinan teguh dari seorang revolusioner
proletar yang sungguh ini pada keharusan krisis kapitalisme yang hebat [yaitu, keyakinannya
bahwa krisis itu tidak bisa dihindarkan], ialah krisis yang mengakibatkan
revolusi proletar. Lalu seorang revolusioner proletar yang sungguh ini
mendasarkan segala kegiatannya justru atas keyakinannya bahwa krisis yang
begitu akan terjadilah. Sedang seorang oportunis [munafiq] (walaupun dia bisa mengakui
di bibir bahwa krisis itu tidak bisa dihindarkan, semisalnya seorang oportunis
Perancis pada awal abad ke-20 Jean Jaures, tetapi dia tidak mengira saja berapa
hebatlah bisa jadi krisis itu) tidak berharap krisis yang hebat begitu,
sebaliknya, dia berharap kemantapan [stabilitas] yang cukupan, dan mendasarkan
segala kegiatannya justru atas keyakinannya pada kemantapan itu.
Tetapi tidakkah yang dikatakan oleh Lenin
sama saja dengan yang dikatakan dalam Qur’an-lah? Bukankah Hari Qiamat (“yaum
al-qiyamati”, “yaum akhiri”) adalah justru krisis yang begitu?
Inilah sari Islam. Tetapi hal ini tidak diperhatikan
sekali-kali oleh para “Muslim” dan para “Marxis” [yang munafiq].
Adapun
“Tuhan sebagai Pencipta alam semesta”. Bolehkah kita memahami kata-kata dari
Qur’an yang dikatakan tentang hal ini secara hurufiah?
Tidak
sekali-kali! Kalau kita memahami kata-kata ini secara hurufiah, maka ini
bertentangan dengan kata-kata dari Qur’an “dan kamu sekali-kali tiada akan
mendapati perubahan pada sunnah [tindakan] Allah”:
“Sebagai
sunnah Allah yang berlaku atas orang-orang yang telah terdahulu sebelum (mu),
dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati perubahan pada sunnah Allah” [Surah
33 (Al Ahzab) ayat 62]
Jadi,
kita sekali-kali tiada akan mendapati perubahan pada sunnah Allah, pada cara
kelakuan Allah, pada undang-undang alam. Sedang kita tahu, bahwa benda [materi]
tidak menimbul dari ketidakadaannya [kekosongan], dan energi juga tidak
menimbul dari ketidakadaannya.
Nabi
Muhammad hidup jauh sebelum Undang Ketetapan Jumlah Energi [The Law of
Conservation of Energy’] dan Undang Ketetapan Jumlahnya Benda [Law of Constant
Composition] didapat. Undang-undang ini didapat baru pada abad-abad ke-18-19,
ialah lebih dari seribu tahun kemudian. Maka salahlah memberhalakan Nabi
Muhammad [menjadikan beliau sebagai “Tuhan”] (sebetulnya, “la ilaha illallah,
Muhammad rasul Allah”, “tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul
Allah”, yaitu Rasul-lah, bukan Ilah!). Salahlah menggambarkan, bahwa Nabi
Muhammad seakan-akan tahu segala-galanya yang didapat oleh ilmu bukti [sains]
abad-abad sesudah beliau. Beliau bukan seorang ahli bintang [astronom], ahli fisika,
ahli ilmu hayat [biologi] dsb., yang meneliti hal evolusi dan “penciptaan alam
semesta”. Tidak, beliau adalah Nabi (justru Nabi-lah, bukan tukang tenung
seperti berbagai orang-orang mistik, astrologis [lihat surah 52 Ath Thuur ayat
29]), yakni seorang yang memperhatikan bahwa masyarakat, sebagai alam umumnya,
mempunyai undang-undang sendiri, daur-daur (circles)
sendiri, yang tidak tergantung kepada kemauan manusia. Justru inilah beliau
menyebutkan sebagai “Allah”, “sunnah Allah”. Karena itulah kami mengata, bahwa Nabi
Muhammad adalah seorang materialis historis dan dialektis sungguh yang pertama
di sejarah manusia.
Ingatlah,
sedikit lebih 100 tahun lalu di Jerman ada ahli ekonomi yang burjuis Schulze-Gaevernitz.
Dia mengira bahwa dengan masuknya kapitalisme ke tingkat imperialisme kelas
yang berkuasa menjadi mampu “menguasai” perlakuan undang-undang ekonomi yang
obyektif, lalu sekarang krisis-krisis dsb. bisa dihindarkan. Sikap yang agak
mirip dianut oleh seorang “Marxis” Kautsky juga, yang mengada-adakan teori
“ultra-imperialisme”: menurutnya, pertentangan yang persaingan pada zaman
imperialisme seakan-akan “dikuasai” oleh kelas yang berkuasa. Lenin mengecam (dan
kecaman itu ada benar) tuan-tuan itu dengan membuktikan bahwa masuknya
kapitalisme ke tingkat imperialisme bukan menghapuskan pertentangan yang
persaingan dan keharusan krisis, melainkan cuma mengangkat pertentangan ini ke
tingkat yang sifat baru, yang sedunia [global].
Sebetulnya,
beberapa tahun kemudian sesudah Schulze-Gaevernitz dan Kautsky mengemukakan
perkiraan ini (yang tidak berbeda sekali dari sikap Firaun Mesir dan lain
penguasa yang sombong (“Kami adalah Maha Kuasa”, “Kami adalah para Tuhan”,
“Kami adalah kesayangan Tuhan”) – sikapnya yang dikecam dalam Qur’an), Perang
Dunia pertama timbullah, lalu Revolusi
di Rusia timbullah. Dengan kata Qur’an, Allah “menertawakan” mereka yang
sombong itu.
Tetapi
mereka yang melalaikan sejarah terdapatlah berulang-ulang. “Mudah-mudahan
krisis seperti yang ada pada tahun 1990-an tidak berulang lagi” - Putin [presiden
Rusia sekarang] kata. Tentulah, kalau dia suka berharap bahwa krisis tidak
berulang lagi, maka hal itu adalah hak pribadinya. Tetapi kita belum pernah “mendapati
perubahan pada sunnah Allah” – baik terhadap Undang Ketetapan Jumlah Energi dan
Undang Ketetapan Jumlahnya Benda maupun terhadap undang-undang ekonomi dan keharusan
krisis ekonomi.
Adapun
unsur-unsur kepercayaan pada mukjizat [keajaiban] yang terdapat dalam Qur’an
yang [unsur-unsur ini] bertentangan dengan bukti-bukti yang didapat oleh ilmu
bukti Eropa sekarang (misalnya, kisahnya tentang penciptaan alam semesta dari
ketidakadaannya [kekosongan]), dalam Qur’an sendiri juga dikatakan bahwa tidak
ada seorang nabi pun yang perbuatannya tidak dimasuki oleh syaitan:
“Dan
Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasulpun dan tidak (pula) seorang
nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, syaitanpun memasukkan
godaan-godaan terhadap keinginan itu, Allah menghilangkan apa yang dimasukkan
oleh syaitan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Bijaksana,” [Surah 22 (Al Hajj) ayat 52]
“agar
Dia menjadikan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, sebagai cobaan bagi orang-orang
yang di dalam hatinya ada penyakit dan yang kasar hatinya. Dan sesungguhnya orang-orang
yang zalim itu, benar-benar dalam permusuhan yang sangat,” [Surah 22 (Al Hajj)
ayat 53]
Jadi,
sebelum Nabi Muhammad tidak ada seorang nabi pun yang tidak pernah membuat
kekeliruan. Tetapi adakah hal ini berlaku cuma terhadap para nabi yang ada
sebelum Nabi Muhammad? Tidakkah hal ini berlaku terhadap Nabi Muhammad sendiri juga?
Berpendapat bahwa hal ini tidak berlaku terhadap Nabi Muhammad sendiri berarti menjadikan
Nabi Muhammad sebagai “Tuhan”. “La ilaha illallah, Muhammad rasul Allah” [“tiada
Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah”]. Selain itu, berpendapat
bahwa hal ini tidak berlaku terhadap Nabi Muhammad sendiri berarti melalaikan
kata-kata dari Qur’an: “dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati perubahan pada
sunnah Allah”. Memangnya, bahwa Nabi Muhammad adalah nabi yang terakhir tidak
berarti bahwa beliau tidak pernah membuat kekeliruan. Bahwa Nabi Muhammad
adalah nabi yang terakhir cuma berarti saja bahwa beliau sudah mengakhiri tahap
yang nabawi [yakni tahap para nabi] di
sejarah manusia dan sudah memulai tahap yang ilmiah [scientific]. Bahkan pada tahap ilmiah ini ada kalanya pemimpin-pemimpin
revolusioner (Marx, Engels, Lenin dan lain-lain) membuat kekeliruan juga.
“Allah menghilangkan apa yang
dimasukkan oleh syaitan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat-Nya” – apakah berarti
ini? Ini berarti bahwa pertumbuhan pengetahuan manusia yang kemudian memperluruskan
[membetulkan] kekeliruan-kekeliruan yang dibuat oleh para ilmuwan, para nabi,
para revolusioner yang dulu. Tidakkah Allah “menguatkan ayat-ayat-Nya”
melalui-lah pendapatan Undang Ketetapan Jumlah Energi, Undang Ketetapan
Jumlahnya Benda dll. oleh manusia?
Maka sudah tentu hal ini menjadi “cobaan
bagi orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan yang kasar hatinya”. Orang-orang
yang di dalam hatinya ada penyakit (yaitu yang ragu-ragu tentang Islam) mulai
meneriak-neriakkan: “Islam tiadalah kebenaran lagi! Lihatlah, bukti-bukti yang
didapat oleh ilmu membatalkan bahwa alam semesta diciptakan oleh Tuhan dari
ketidakadaannya [kekosongan]!”. Orang-orang yang kasar hatinya, sebaliknya,
melalaikan pendapatan Undang-Undang baru ini dan tetap mengulangi kata buta-butaan
sebagai mantera: “Tuhan menciptakan alam semesta dari ketidakadaannya
[kekosongan]”. Kedua pihak ini tidak melihat, tidak memperhatikan bahwa inti
sari Islam bukanlah hal ini! Inti sari Islam ialah bahwa Hari Qiamat (yakni krisis yang hebat,
yang mengakibatkan revolusi) tidak bisa dihindarkan, dan hal ini justru
dibuktikanlah (tidak dibatalkan!) oleh ilmu sekarang, yakni Marxisme-Leninisme!
Kedua pihak ini (baik para Marxis palsu yang memandang hina Islam, maupun para
Muslim palsu yang memandang hina Marxisme) adalah dua sisi dari satu “uang
logam” yang burjuis. Mereka adalah seperti dua golongan ahli fisika tentang
yang Lenin menulis dalam tulisannya “Materialisme dan empiriokritisisme”. Ketika
pada awal abad ke-20 pendapatan baru di bidang ilmu fisika kwantum menimbul,
satu bagian dari para ilmuwan mulai membuang materialisme (menurutnya, “benda
[materi] hilang!”), lain bagian tetap mengikut pemahaman benda [materi] yang
sudah lapuk [kolot] buta-butaan dengan melalaikan pendapatan baru itu. Sedang Lenin
memisahkan diri baik dari golongan pertama, maupun dari golongan kedua. Dalam
tulisannya ini juga Lenin mengutip Engels, bahwa dengan setiap pendapatan
ilmiah yang baru materialisme diperbarui, “lahir sekali lagi” [“bangkit
kembali”]. Tetapi sama saja yang ditulis oleh Sayyid Ahmad Khan juga tentang
Islam-lah: bahwa pada setiap zaman yang baru penafsiran yang baru dari Qur’an juga
dibutuhkan-lah, dan cara pemaparan dalam Qur’an (yaitu berupa kisah)
memungkinkan penafsiran yang begitu:
“Dia [Sayyid Ahmad Khan] menganggap
bahwa cara kiasan [ditekankan oleh
saya – A. G.] yang gemilang dari Qur’an
menyatakan bahwa pada setiap zaman Kitab ini harus dipahami sesuai dengan
syarat-syaratnya [dari zaman itu] sendiri” [http://www.muslimphilosophy.com/hmp/LXXX-Eighty.pdf]
Jadi, sari Islam ialah justru
pengakuan terhadap keharusan krisis (“Hari Qiamat”) masyarakat yang aniaya,
yang penindas, serta penuntutan mendasarkan segala kegiatan justru atas keyakinan
bahwa krisis yang begitu akan terjadilah. Dan apa-apa dalam Qur’an yang
bertentangan bukti-bukti didapat oleh ilmu sekarang [sains] (misalnya, kisah
tentang penciptaan alam semesta, penggambaran keadaan jiwa sesudah kematian
dsb.) sudah tentu kita tidak boleh sekali-kali membuang saja; kita harus memahami
itu bukan secara hurufiah, melainkan secara kiasan, serta hikmah yang penting
harus diambil dari kisah-kisahnya, seperti saya sudah menulis di atas. Tentang
hal ini pemikir Islami Ibnu Rusyd pada abad ke-
Lalu dalam Qur’an sendiri pun kita
melihat pembuktian hal ini:
“Berkatalah
orang-orang yang kafir: “Apakah setelah kita menjadi tanah dan (begitu pula) bapak-bapak
kita; apakah sesungguhnya kita akan dikeluarkan (dari kubur)?” [Surah 27 (An
Naml) ayat 67]
“Sesungguhnya
kami telah diberi ancaman dengan ini dan (juga) bapak-bapak kami dahulu; ini
tidak lain hanyalah dongengan-dongengan orang dahulu kala” [Surah 27 (An Naml) ayat
68]
“Katakanlah:
“Berjalanlah kamu (di muka) bumi, lalu perhatikanlah bagaimana akibat
orang-orang yang berdosa [Surah 27 (An Naml) ayat 69]
Jadi, apakah kita melihat? Adakah sedikitpun
mistik, kepercayaan pada mukjizat [keajaiban], pada yang luar alamiah [supernatural – yang luar
wajar] dalam jawab Nabi Muhammad itu (seperti yang dikandung dalam jawab-jawab para
“Muslim” mistikus di jaringan social [Facebook dll.], semisal “Seandainya tiada
Allah, maka piring-piring di atas meja tidaklah akan putar balik dengan
sendirinya”, tetapi, setahu kita, piring-piring di atas meja justru tidaklah
putar balik dengan sendirinya)? Tidak, jawabnya didasarkan cuma atas
bukti-bukti [fakta-fakta] saja, yang bisa diuji oleh siapapun: kota-kota
(negara-negara) tetangganya yang tenggelam dalam kemewahan, keangkuhan,
kesombongan, maksiat dsb. tidak lama kemudian menjadi rusak binasa, dan yang
tersisa dari itu adalah cuma peninggalan bangun-bangunannya pernah mulia serta riwayat-riwayat
tentang kemuliaannya yang telah lampau. Jadi, kemuliaannya itu adalah tahap
yang terakhir dari kehidupannya sebelum kebinasaannya.
Adakah simpulan dari jawabnya bisa
dijadikan bahwa “setelah kita menjadi tanah kita akan dikeluarkan dari kubur” secara
hurufiah? Tidak, jawabnya tidak mengandung sepatah kata pun tentang hal itu.
Bukankah simpulan dari jawabnya bahwa kebangkitan sesudah kematian harus
dipahami tidaklah secara hurufiah?!
Adakah para kafir yang mengingkari
Qur’an itu sama saja dengan Tan Malaka, misalnya, karena dia dalam bukunya “Madilog”
membuktikan dengan didasarkan atas ilmu sekarang (sains) bahwa setelah kita
menjadi tanah kita tidaklah bangkit lagi, yakni secara hurufiah? Tidak
sekali-kali, karena dia menunjukkan bagaimana harus ditafsirkan kata-kata Qur’an
tentang sorga dan neraka itu sesuai dengan pengetahuan ilmiah sekarang (walaupun
penafsirannya sendiri mengandung sebagian sedikit penyembahan berhala [patung-patung
dsb.], ke-burjuis-an (lihat mukadimah saya kepada “Madilog”), tetapi di sini
bukan tempat untuk membahas hal itu)!
Kembalilah ke soal tentang “Tuhan
sebagai Pencipta alam semesta”. Mengapa pula soal itu begitu penting buat kami?
Bukankah Lenin menulis bahwa soal tentang perjuangan melawan kaum kapitalis di
muka bumi lebih penting buat kami (buat kaum proletar) daripada soal tentang
adanya Tuhan di langit. Memang, perlulah kesatuan aksi antara kaum proletar
yang masih percaya bahwa “Tuhan menciptakan alam semesta dari ketidakadaannya
[kekosongan]” secara hurufiah dan kaum proletar yang tidak percaya lagi pada
itu. Tetapi pada lain pihak, kita tahu, bahwa kekeliruan kecil pun dalam teori
bisa mengakibatkan kesesatan besar dalam praktek, seperti sudah terjadi puluhan
kali dalam sejarah gerakan revolusioner yang dahulu.
Tan Malaka dalam bukunya “Madilog”
menulis benar bahwa ada dua aliran filsafat yang pokok, yakni idealisme dan
materialisme. Yang pertama adalah filsafat dari kelas penindas (burjuasi) dan
yang kedua adalah filsafat dari kelas tertindas (proletariat). Baik yang pertama
maupun yang kedua timbul berupa “bersih”, yang sekarang, “sempurna” dalam
pikiran Eropa pada abad ke-18-19, bahkan timbulnya pikiran itu terjadi dengan
adanya pengaruh besar dari Islam atas Eropa pada abad pertengahan. Dalam
tulisan saya “Pengetahuan Islam dan ilmu Eropa” (2018) saya sudah mengutip satu
cuplikan dari buku “Sejarah filsafat Muslim” tentang dua pengartian [konsepsi]
tentang Tuhan, ialah yang teologis (bacalah: “Kristen”) yakni “Tuhan adalah
sesuatu yang mandiri berakal [“efficient autonom”]” dan pengartian pemikir
Islami al Farabi yang menganggap bahwa “Tuhan adalah adanya yang semesta alam
dan bersifat keharusan” [“Universal and Necessary Being”]. Lalu pengartian yang
kedua ini menjadi “dasar yang teguh dan yang tidak bisa digoyang” untuk
kemajuan ilmu fisika (dan ilmu pengetahuan umumnya) di Eropa pada waktu itu.
Sudah tentu, sikap al Farabi tidak bisa dinamakan “materialisme bersih”, kalau
saya tidak salah, dia “meninggalkan” ke Tuhan “dorongan yang asli”, yakni “kejadian
penciptaan alam semesta”. Kalau saya tidak salah, dalam hal ini sikapnya al
Farabi ada mirip dengan sikap
Pada lain pihak, dari buku
“Pemikiran” (1973) yang ditulis oleh pendiri “Hizb ut Tahrir” Taqiuddin an
Nabhani kita melihat bahwa dia menganut pandangan yang mirip dengan
pandangannya
“yang
mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka
itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah
orang-orang yang mempunyai akal” [Surah 39 (Az Zumar) ayat 18]
Dalam
salah satu terjemahan Qur’an perkataan “mendengarkan perkataan” ditafsirkan
sebagai “mendengarkan perkataan Qur’an”, tetapi tafsir begitu dibatalkan oleh
kata-kata yang berikut: “lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya”
(kalau tafsir itu benar, maka Qur’an mengandung kata-kata yang tidak paling
baik juga, jadi, tafsir itu mustahillah). Dalam terjemahan yang lain tafsir
benarlah menurut pendapat saya: “yang mendengarkan ajaran-ajaran Al Qur’an dan
ajaran-ajaran yang lain, tetapi yang diikutnya ialah ajaran-ajaran Al Qur’an
karena ia adalah yang paling baik”.
Misal
yang lain dari Qur’an ialah surah 38 (Shaad) ayat-ayat 21-24 tentang cobaan
Nabi Daud oleh Allah. Allah mengirim ke Nabi Daud dua orang yang berperkara
untuk dia beri keputusan antara mereka dengan adil; lalu Daud dengan bergesa-gesa
beri keputusan sesudah mendengar cuma salah seorang (dan tidak mendengar yang
kedua), karena dia menganggap bahwa kebenaran seorang yang pertama ini “nyatalah”.
Dan kemudian Daud bertobat dari pada ini, ketika mengarti bahwa ini bisa jadi
ujian dari Allah.
Jadi,
Qur’an mengajarkan menjadi “lapang dada” (dalam arti “pandai mendengarkan sikap
yang bertentangan dengan yang kamu”), keluasan pandangan: “mendengarkanlah
semua pendapat, tetapi mengikutlah yang paling baik”. Maka apakah bisa dikata
tentang orang-orang “Muslim” begitu yang menolak Marxisme-Leninisme tanpa belajarnya
apa pun, dengan berdasarkan cuma atas kata-kata (dari mulut-mulut para musuh
Islam yang tertutup dan yang terbuka, yang memalingkan kaum Muslim dari belajarnya
ini) bahwa “Marxisme-Leninisme ingkar Tuhan” saja? Pertama, orang-orang
“Muslim” seperti itu tidaklah mendengarkan
semua pendapat, kedua, mereka mengikut bukanlah
pendapat yang paling baik, melainkan pendapat para pendeta Kristen Eropa.
Mereka adalah seperti para kafir itu dari ayat-ayat tadi surah An-Naml yang
berolok-olok Nabi Muhammad tanpa mendalami pendapatnya (pada lahirnya [secara formal] mereka benar,
tetapi pada hakekatnya mereka salah).
Pendapat seperti itu yang menolak Marxisme-Leninisme cuma karena alasan bahwa
ajaran ini tidak sesuai dengan Islam pada lahirnya
dan yang tidak mau meneliti hakekat
[inti sari] persoalannya (menurutnya, “Marxisme adalah ajaran bukan yang kami
melainkan yang Eropa”) adalah pendapat bukan yang Islam melainkan yang
nasionalis, bukan Islamiyyah
melainkan ‘ashobiyyah.
Di
sini saya mau mengemukakan kutipan dari tulisan “Perayaan 1 Mei (pemandangan atas
rapat besar dari pada Indische
Sociaal-Democratische Party di Betawi)” yang ditulis oleh Sekarmaji
Marijan Kartosuwiryo (yang menjadi pendiri Negara Islam Indonesia kemudian) dan
yang dimuat di surat kabar “Fadjar
Asia”, 6-7 Mei 1929 [http://alchaidar.blogspot.com/2008/09/perajaan-1-mei.html]:
“Maka jawab kita atas segala seruan
yang mulia itoe [dari kaum sosial-demokrat] tak lain melainkan, mudah-mudahan
cita2 kaum sociaal-demokraat itu dapat diperbesar dan diwujudkan sebagaimana
mestinya dan kemudian akan bermanfaat juga bagi bangsa, rakyat dan negeri tumpah
darah kita
Tiap2 pertolongan dan perbantuan
dari pihak mana pun juga akan terima dengan senang hati, asal pertolongan dan
perbantuan itu dapat menambah kekuatan kita dalam perlombaan menuntut hak2 si
lemah dan dapat mencepatkan perjalanan kita menuju ke arah kemerdekaan
kebangsaan
Sudah tentu, di sini harus dijitukan
bahwa kaum sosial-demokrat (seperti kaum komunis kemudian) mengkhianati ajaran Marx. Selain itu, Kartosuwiryo di sini cenderung
sedikit kepada nasionalisme (“kemerdekaan kebangsaan
7 tahun kemudian Kartosuwiryo
menulis dalam tulisannya ”Sikap Hijrah PSII” (Partai Sarekat Islam
“Fasal 6: Pendirian ‘Amal
…
(c) Istitha’ah
Pendirian yang ketiga ini mengandung ajaran,
supaya tiap-tiap manusia yang hendak mencapai ‘amal kesempurnaan, hendaklah
suka membanyak-banyakkan, memperluas-luas dan memperdalam sekalian perbuatan
dan usahanya. Sebanyak tenaga yang ada pada kita, sebanyak itu pula hendaknya
digunakan untuk keperluan membela Agama Allah! Sebanyak2 pengetahuan, harta,
pengertian dan lain-lain yang dikaruniakan Allah kepada kita itu, sebanyak itu
pula hendaknya kita ber’amal!...
Demikianlah erti Istitha’ah itoe dengan amat
ringkas. Lebih jauh, hendaklah dibandingkan dengan ajaran2 dalam Al-Qur'an, Surah
Al-Anfal (8) ayat 60 dan Surah At-Taghabun (64) ayat 16!”
Memangnya,
kalau Allah sudah mengaruniakan kepada kami pengetahuan Marxisme-Leninisme, maka
guna kepentingan siapakah untuk kami menolak penggunaan pengetahuan ini untuk
keperluan membela Agama Allah (“Agama” bukan dalam arti “mistik” melainkan
dalam arti “ajaran”)? Jawabnya sudah nyata: syaitan dan para pengikutnya yang selalu
mengupayakan untuk meyakinkan kita bahwa “Marxisme-Leninisme bertentangan
dengan Islam”, dan yang akan gagal sebagai keharusan, cepat atau lambat, seperti
sudah gagal puluhan kali dalam sejarah.
Ayat-ayat yang dikemukakan oleh
Kartosuwiryo membenarkan juga pikiran kami ini. Memangnya, dalam Surah Al-Anfal
(8) ayat 60 tadi kita membaca:
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu…”
Dalam catatan kaki dari salah satu terjemahan Qur’an dikatakan bahwa sekarang “kuda-kuda” itu harus diartikan sebagai “tank, pesawat terbang, peluru [roket] dan meriam”. Memangnya, kuda-kuda tidak menggentarkan siapa pun juga sekarang, malahan melucu saja. Tetapi “tank, pesawat terbang, peluru dan meriam” ini adalah pendapatan bukan kaum Muslim melainkan orang-orang Eropa! Walaupun begitu, kita melihat, bahwa barang ini boleh (dan harus) digunakan. Tetapi bukankah hal ini sama dengan Marxisme-Leninisme?! Bukankah Marxisme-Leninisme sebagai “meriam” yang begitu sekarang?! Bukankah mereka yang mengajak kaum Muslim menolak Marxisme-Leninisme sama dengan mereka yang dengan menafsirkan Qur’an secara terlalu hurufiah (di mana tafsir begitu tidak sesuai nyata-nyata dengan keadaan), dengan melalaikan keadaan yang sekarang mengajak kaum Muslim menolak senjata yang sekarang dan berperang dengan kuda-kuda, secara kolot?! Bukankah para “Muslim” palsu yang begitu sama dengan para propagandis imperialis anti-Islam yang meneriak-neriakkan tentang kaum Muslim: “Bagaimanakah para teroris ini boleh menggunakan pesawat modern [teknik, mesin] melawan kami?! Ini adalah pendapatan bukan mereka, melainkan kami, orang-orang Eropa! [seolah-olah para propagandis ini sendiri mendapatkan pesawat ini!].
Kembalilah ke soal tentang materialisme
dan idealisme.
Jadi,
mengapa Islam kalau dipergunakannya dalam keadaan yang sekarang berarti justru materialisme?
Mengapa dari dua ideology Eropa ini (materialisme dan idealisme) Islam harus
menolak justru idealisme?
Karena
idealisme adalah syirik pada hakekatnya.
Idealisme berhubunganlah dengan
syirik. Dalam kenyataan yang sebenarnya pikiran selalu terkandung dalam suatu
benda, lalu para idealis walaupun tidak mengakui hal ini secara terbuka
(begitulah sifatnya ketidaksesuaian dari kaum penindas!), tetapi secara
diam-diam selalu memaksudkan ini (benda yand dimaksudkannya adalah kelas
kapitalis, karena justru dengan kemauannya para idealis mengganti undang-undang
alam, “kemauan Allah”). Jadi, pada hakekatnya
idealisme berarti sembahan [pujaan] berhala kelas kapitalis, kaum berkuasa.
Lalu
kita melihat bahwa pendapat an-Nabhani, misalnya, membiarkan “kesempatan” itu
buat ke-burjuis-an. Memangnya, kalau yang pertama adalah pikiran, bukan undang-undang
alam, maka kepentinganlah kaum kapitalis dari bangsa-bangsa Muslim (yang
menindas kaum Muslim ini dan sering menjadi antek-antek kaum imperialis kafir
yang asing) boleh dikemukakan sebagai pikiran ini, seolah-olah pikiran ini
adalah “kemauan Allah” (walaupun kebajikan yang diniatkan oleh an-Nabhani itu).
Kita melihat pembuktian hal ini dalam
Jangankan
“Nahdlatul Ulama” (terhadap mereka teranglah sekali [bahwa mereka berhubungan
dengan pemerintahan kapitalis pro-Cina]), akan tetapi Hizb ut Tahrir Indonesia
(HTI) juga berpendapat yang tidak berbeda sekali dari itu! Ya, pemerintahan
membubarkan mereka lebih kurang dua tahun lalu, tetapi para juru bicara HTI tetap
menyebarkan gagasannya dengan bebas [dengan tidak dihalangi], mereka sering
diundang ke TV. Salah satu penda’wah HTI yang terkenal adalah Felix Siauw yang
asalnya Tionghoa, dari keluarga Kristen Katolik.
Pada
masa penjajahan Belanda, kemudian pada masa pendudukan Jepang ada para
penda’wah “Muslim” dari bangsa itu masing-masing, yang membela kepentingan
imperialisme sendiri masing-masing dalam da’wahnya “Islam” yang palsu. Tan
Malaka menulis tentang hal itu [dalam bukunya “Dari penjara ke penjara”].
Sekarang juga ada para penda’wah dari bangsa Cina.
Tentulah,
ibu bapak tidaklah bisa dipilih. Kelahiran di keluarga Cina bukanlah salahnya
Felix Siauw. Tetapi kalau seorang yang berasal dari bangsa yang merampas kaum
Muslim adalah orang Muslim yang jujur, maka dia berwajiblah mencela bangsanya
secara tegas dan sungguh untuk melenyapkan kecurigaan akan kemunafiqannya yang
beralasan itu terhadap dia. Tetapi apakah kita melihat? Dalam da’wahnya Felix
Siauw sering mencela imperialisme Amerika (ialah saingan [rival, penyaing] Cina),
tetapi tidaklah (atau hampir tidaklah) mencela imperialisme Cina. Kemasyhurannya
yang luas menunjukkan adanya dukungan pendanaan [dari kalangan berduit] yang
mungkin sekali. Dalam salah satu video di YouTube Felix Siauw dengan kawannya
membahas Marxisme-Leninisme [https://www.youtube.com/watch?v=jKf9R_siPD0].
Lalu apakah kita melihat? Alasannya adalah sama saja lagi: “Marxisme-Leninisme
menolak Tuhan”, serta “Marxisme-Leninisme ingin kekerasan”. Terhadap siapakah
kekerasan itu, mereka tidak mengata. Jadi, mereka mengacaukan kekerasan dari
pemerkosa (kaum kapitalis, imperialis, kafir), semisal kekerasan dari
pro-Sovyet Partai Komunis
Dalam
pembahasan itu kesungguhan tidaklah ditampak – sebaliknya, yang ditampak adalah
senyum-senyum yang sombong dan tawa kikik yang tidak malu saja. Apakah bedanya
para “Muslim” itu dari kaum kafir yang mengejekkan Nabi Muhammad?!
Misal yang lain lagi dari
kecaman Marxisme dari pihak “Islam” (Islam palsu) adalah satu kecaman dari
pihak “Nahdlatul Ulama” lagi di YouTube (kecaman ini menyinggung bukan perkara
“adanya Tuhan” melainkan perkara lain) [Di sini saya keliru. Kecaman ini bukan dari
pihak “Nahdlatul Ulama” melainkan dari pihak Front Pembela Islam (FPI). Namun,
sikap FPI terhadap Marxisme tidak jauh berbeda dari sikap NU]. Kita melihat
video [https://www.youtube.com/watch?v=zjxm4Z1U1mY]
di mana satu ulama [Habib Rizieq] mengata yang berikutnya: ya, golongan Marxis
adalah partai kaum buruh dan golongan ini berjuang melawan kaum kapitalis Eropa,
tetapi golongan ini bukan partai kaum buruh saja, melainkan partai kaum buruh Eropa-lah
yang penjajah sama saja dengan kaum kapitalis Eropa terhadap bangsa-bangsa Muslim.
Mereka (kaum buruh Eropa dan golongan Marxis sebagai para wakil mereka),
katanya, bermaksud untuk mengganti kekuasaan kaum kapitalis Eropa dengan kekuasaan
kaum buruh Eropa, tetapi tidaklah bermaksud untuk mengganti apa pun dalam
kebijaksanaan kolonial yang lama itu terhadap bangsa-bangsa tertindas di
jajahan itu, terhadap bangsa-bangsa Muslim.
Sudah
tentu, sebagian besar kata-kata itu adalah kebenaran. Tetapi tuan ulama itu
melupakan beberapa hal-ihwal. Memangnya, mengapa dia tidak mengata apa pun
tentang perpisahan antara kaum internasionalis dan kaum sovinis dalam
Internasional ke-2, tentang perdebatan antara Kautsky dan Lenin? Mengapa dia
tidak menyebut Leninisme ketika mengata tentang Marxisme [komunisme]?
Ya,
kaum buruh Eropa (termasuk Rusia dan lain-lain bangsa imperialis) pada umumnya terbukti
pengkhianat kepentingan kaum proletar [kaum buruh, miskin, tertindas] sedunia, seperti
diperlihatkan oleh perjalanan perkembangan sejarah selama 100 tahun lalu.
Tetapi bolehkah Marxisme ditolak dengan alasan itu, sedang Marxisme ini adalah
ilmu yang didasarkan atas bukti-bukti? Apakah Nabi Muhammad menolak
ajaran-ajaran Nabi Musa dan Nabi Isa dengan alasan bahwa para pengikutnya (kaum
Yahudi dan kaum Kristen) terbukti orang-orang yang tidak adil? Tidaklah, karena
beliau menyadari bahwa tidaklah benar mengacaukan yang pertama [Nabi Musa dan
Nabi Isa] dengan yang kedua [para pengikutnya].
Ulama
tadi mengumpamakan Sukarno dan Agus Salim sebagai umpama [“positif”] yang
bertentangan dengan [umpama “negatif”] orang “komunis” Manowar Muso (meski dia
bukan orang komunis sebenarnya, melainkan antek imperialisme Rusia). Dengan
umpama yang begitu ulama ini menelanjangi diri sendiri!
Mengapa
dia tidak mengata apa pun tentang orang komunis Tan Malaka yang menganjurkan
persatuan [komunisme] dengan Islamisme dan yang tidak menodai diri dengan kerjasama
dengan imperialisme Rusia berbeda dengan Manowar Muso?
Mengapa
dia tidak mengata apa pun bahwa Sukarno yang pada mula kegiatannya (pada tahun
1920-an) ada orang revolusioner yang jujur, murid dari pendiri Sarekat Islam H.O.S.
Cokroaminoto dan yang menganjurkan penyatuan ide-ide nasionalisme, Islam dan
komunisme, kemudian melakukan pengunduran [kompromi] yang terlalu besar
terhadap imperialisme, mulanya imperialisme Belanda, kemudian imperialisme Jepang
(tentang hal ini menulis Tan Malaka [dalam bukunya “Dari penjara ke penjara”]
dan banyak penulis yang lain-lain), kemudian imperialisme Rusia, kemudian
imperialisme Cina?
Mengapa
dia tidak mengata apa pun tentang perpecahan dalam Sarekat Islam pada tengah tahun
1930-an atas sayap “bolsyevik” [dalam arti “proletar” seumpama perpecahan dalam
partai sosial-demokrat di Rusia pada tahun 1903] dan sayap “mensyevik”
[burjuis] (saya sudah menulis tentang perpecahan ini dalam tulisan-tulisan yang
lalu) dan tidak mengata apa pun bahwa justru Agus Salim yang menjadi pemimpin sayap
“mensyevik” ini, yakni sayap yang tenggelam dalam pengunduran [kompromi] yang
terlalu besar terhadap imperialisme Belanda?
Mengapa
dia tidak mengata apa pun tentang pemimpin sayap yang lain, “bolsyevik” dalam
perpecahan ini, yaitu Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo yang menjadi pendiri
Negara Islam
Jadi,
kita melihat bahwa ulama ini mengungkap kepentingan kaum kapitalis Indonesia
yang bertentangan dengan rakyat banyak jelata Muslim dan yang walaupun beberapa
pertentangannya dengan tuan-tuannya yang asing selalu siap sedia mengkhianat
kepentingan kaum Muslim untuk manfaat tuan-tuannya itu pada saat yang kritis [membahayakan,
genting penting]. Bahkan, dia mengata ini dengan teriak, dengan begitu menimbulkan
keharuan kaum Muslim untuk mendiamkan akal mereka (tidakkah Qur’an mencela
sifat teriak?!).
Yang
menggembirakan [kami] adalah bahwa kaum Muslim proletar tidak lagi semuanya ditipu
oleh tipu muslihat anti-komunis ulama-ulama “Muslim” yang palsu itu yang mempertahankan
kepentingan kaum kapitalis bangsa sendiri dan tuan-tuannya asing imperialis. Di
bawah video-video tersebut bisa dilihat tidak sedikit jumlahnya komentar
[tanggapan] yang kurang senang pada itu.
Lalu
ulama-ulama begitu yang menimbulkan keharuan kaum Muslim melawan
Marxisme-Leninisme, ulama-ulama itu menelanjangi diri sendiri dengan
dukungannya yang tetap kepada ideologi negara resmi anti-Islam burjuis Panca
Sila (yang pernah diada-adakan oleh Sukarno sebagai pengganti dasar-dasar Islam)
untuk menentang kebangkitan Khilafah dan penerapan Syariat Islam. Buat
ulama-ulama itu Islam dibatasi oleh ritual-ritual [upacara, sembahyang, sholat,
doa dsb.], oleh bidang rohani dan terpisah dari kehidupan bermasyarakat secara
burjuis sekuler saja.
[Di sini satu pernyataan
harus dikemukakan. Pada tahun ini (2021) pemimpin FPI Habib Rizieq itu ada
dipenjara oleh pemerintah
Dan
para juru bicara Hizb ut Tahrir Indonesia (HTI) tidak berani menentang Panca
Sila secara lurus dan terbuka [terang-terangan]. Misalnya, salah satunya, Ismail
Yusanto ketika ditanya oleh satu pengasuh TV dengan soal yang provokatif:
“Apakah anda menganjurkan Khilafah ataukah Panca Sila?”, menghindarkan dari
jawab yang lurus, dengan jawab yang menyimpang [,,kelangan enggok”, “main
kongkalingkong”]: “Penerapan Khilafah adalah proses yang panjang sekali” dsb.
Tentulah, seandainya dia menjawab secara lurus: “Saya menganjurkan Khilafah,
bukan Panca Sila”, maka dia segera akan dipenjarakan, sebagaimana yang ditulis
dalam salah satu komentar [tanggapan] di bawah video ini. Tetapi adakah hal ini
bisa memaksa Muslim yang jujur, revolusioner yang jujur untuk menyimpang
[menghindar] dari jawab yang lurus?! Ingatlah kejadian pada waktu Perang Dunia
pertama dalam salah satu negeri Eropa yang digambarkan oleh Lenin: ketika para
buruh [di rapat] bertanya kepada wakilnya sosialis mengapa dia memberikan suaranya
di parlemen untuk ongkos militer, maka dia menjawab: “Tetapi seandainya saya
tidak memberikan suaranya begitu, maka saya akan dipenjarakan!”, maka satu
buruh bertanya: “Adakah ini buruk?!”. Memangnya, jiwa dan kebebasan [dari
penjara] kaum proletar [kaum buruh, miskin, tertindas] dibahayakan hampir tiap hari, maka bolehkah wakilnya tidak
berani membahayakan diri dengan suatu hal, apalagi kalau hal ini bisa menguntungkan [yaitu keuntungan
dari hal itu buat gerakan revolusioner bisa jadi lebih banyak dari pada
kerugiannya]?! Bukankah kata berani yang begitu yang dikemukakan berhadapan
penganiaya, apalagi yang dikemukakan oleh orang terkenal selalu berkumandang sekali dalam masyarakat umum!
Felix Siauw yang tersebut di atas berlaku
secara sama [dengan Ismail Yusanto]. Dia menolak tuduhan bahwa “HTI menentang Panca
Sila” dan membuktikan bahwa sebenarnya HTI tidak menentang Panca Sila dengan alasan
bahwa beberapa kata manis dari Panca Sila yang berasal dari bahasa Arab, dari Qur’an
bisa ditafsirkan dalam arti apa pun [baik dalam arti Islam maupun dalam arti
kafir, karena artian Panca Sila ini adalah tidak jelas sekali]. Apakah “bukti”
begitu kecuali oportunisme [kemunafiqan] yang paling buruk?!
Pada lain pihak, banyak orang Muslim Indonesia sudah menyadari bahwa Panca Sila adalah warisan kolonial Eropa (satu seorang Muslim mengata secara tepat bahwa para pahlawan perjuangan kemerdekaan bangsa melawan Belanda pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 yang semuanya berjuang di bawah bendera Islam “akan berbalik dalam kuburnya” kalau mendengar bahwa Islam diganti dengan suatu “Panca Sila”). Banyak orang Muslim Indonesia sudah menyadari bahwa
Panca Sila sekarang menjadi bertentangan secara nyata dengan kepentingan rakyat
banyak.
Akan disambung
Komentar
Posting Komentar